Gerbong Khusus Wanita KRL: Ruang Aman dari Trauma Pelecehan Seksual

Gerbong Khusus Wanita KRL: Ruang Aman dari Trauma Pelecehan Seksual

Jakarta - Bagi banyak wanita pengguna setia Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line, gerbong khusus wanita bukan hanya sekadar fasilitas, melainkan representasi ruang aman yang krusial untuk menghindari dan meminimalisir potensi pelecehan seksual. Pengalaman traumatis pelecehan seksual di transportasi umum telah mendorong banyak wanita untuk memilih gerbong ini sebagai solusi untuk menciptakan rasa nyaman dan aman selama perjalanan.

Cecil (22), seorang mahasiswi yang setiap hari menggunakan KRL untuk mencapai kampusnya, berbagi pengalamannya. Setelah hampir menjadi korban pelecehan seksual di gerbong campuran, Cecil secara konsisten memilih gerbong wanita sebagai preferensi utamanya. "Gerbong perempuan menjadi ruang aman bagi saya. Saya merasa lebih tenang dan tidak merasa was-was," ujarnya.

Perasaan cemas dan trauma pasca-kejadian hampir menjadi korban pelecehan seksual sangat membekas pada diri Cecil. Bayangan kejadian tersebut terus menghantuinya setiap kali berada di gerbong campuran yang penuh sesak. Dengan adanya gerbong wanita, Cecil merasa terhindar dari perasaan tidak nyaman dan ketakutan yang terus menghantuinya.

Aulia (24), seorang karyawan swasta, memiliki pandangan serupa. Pengalaman pahit menjadi korban pelecehan seksual di KRL membuatnya selalu memilih gerbong wanita, terutama saat jam-jam sibuk ketika KRL dipadati penumpang. "Sejak hari itu, gerbong perempuan sangat berpengaruh untuk memberi ruang aman," ungkap Aulia. Baginya, gerbong wanita bukan hanya sekadar tempat untuk bepergian, tetapi juga tempat untuk memulihkan diri dari trauma yang mendalam.

Rasa trauma dan kekhawatiran akan terulangnya kejadian pelecehan seksual selalu menghantui Aulia setiap kali naik KRL. Dengan memilih gerbong wanita, Aulia merasa lebih tenang dan terlindungi. "Kejadian itu membuat aku sedih dan trauma, enggak mau kejadian itu terulang lagi. Jadinya, sekarang lebih milih untuk ada di gerbong perempuan," jelasnya.

Bina (22), pengguna KRL lainnya, juga merasakan manfaat serupa dari gerbong wanita. Setelah mengalami pelecehan seksual di gerbong campuran, Bina menganggap gerbong wanita sebagai ruang aman yang sangat penting baginya. "Kalau perempuan naik KRL di gerbong campuran, itu bisa memunculkan traumanya lagi. Jadi dengan adanya gerbong perempuan, korban pelecehan mendapatkan ruang aman," kata Bina.

Trauma akibat pelecehan seksual tidak mudah dihilangkan. Bagi Bina, keberadaan gerbong wanita membantu meminimalisir kemungkinan munculnya kembali trauma tersebut. Lebih jauh lagi, Bina meyakini bahwa gerbong khusus wanita dapat berkontribusi dalam menekan angka pelecehan seksual di transportasi umum. "Gerbong perempuan bisa menjadi salah satu penanggulangan tingginya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi publik," tuturnya.

Data dari KAI Commuter mencatat adanya 57 laporan kasus pelecehan seksual di KRL selama periode Januari hingga Oktober 2024. Dari jumlah tersebut, 50 kasus telah dilaporkan kepada pihak kepolisian untuk diproses secara hukum. Selain proses hukum, pelaku pelecehan seksual yang teridentifikasi juga dikenakan sanksi berupa larangan menggunakan KRL seumur hidup.

Kesimpulan

Keberadaan gerbong wanita pada KRL Commuter Line bukan hanya sekadar fasilitas tambahan, tetapi juga representasi ruang aman yang esensial bagi penumpang wanita. Bagi korban pelecehan seksual, gerbong ini menjadi tempat untuk memulihkan diri dari trauma, merasa aman, dan terhindar dari kekhawatiran akan terulangnya kejadian serupa. Diharapkan, keberadaan gerbong wanita dapat terus ditingkatkan dan dioptimalkan agar dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh penumpang wanita KRL.