NICL Catat Lonjakan Laba Bersih Lebih dari 1.000% di Tengah Tantangan Industri Nikel

NICL Catat Lonjakan Laba Bersih Lebih dari 1.000% di Tengah Tantangan Industri Nikel

Emiten pertambangan nikel, PT PAM Mineral Tbk (NICL), mengumumkan pencapaian kinerja keuangan yang impresif untuk tahun 2024. Perusahaan berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp 318,75 miliar, melonjak tajam sebesar 1.074,71% dibandingkan dengan laba bersih tahun 2023 yang hanya sebesar Rp 27,13 miliar.

Lonjakan laba bersih ini didorong oleh kombinasi faktor, termasuk efisiensi biaya operasional dan peningkatan signifikan dalam volume penjualan nikel. Laba kotor perusahaan juga mengalami kenaikan yang signifikan, mencapai Rp 517,26 miliar, atau naik 278,50% secara year-on-year (YoY) dibandingkan dengan Rp 136,66 miliar pada tahun sebelumnya. Hal ini menghasilkan margin laba kotor yang sehat sebesar 35,86% pada tahun 2024, meningkat tajam dari 11,97% pada tahun 2023.

Peningkatan Volume Penjualan di Tengah Penurunan Harga Nikel

NICL berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp 1,44 triliun pada tahun 2024, naik 26,37% dibandingkan dengan Rp 1,14 triliun pada tahun 2023. Yang menarik, peningkatan ini terjadi di tengah kondisi industri nikel yang kurang menguntungkan, di mana harga acuan nikel domestik mengalami penurunan sebesar 9,19% sejak semester kedua tahun 2024. Perusahaan berhasil meningkatkan volume penjualan nikel dari 1.848.007,82 metrik ton (MT) menjadi 2.300.914,78 MT.

"Kendati kondisi industri nasional yang kurang menguntungkan, perseroan tetap optimis dan mampu mengatasi tantangan tersebut," ujar Direktur Utama NICL, Ruddy Tjanaka, dalam keterangan resminya.

Strategi dan Aset Pertambangan

Pada tahun 2024, NICL telah memperoleh persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk periode 2024-2026 dengan total volume penjualan yang disetujui sebesar 7.000.000 WMT. Perusahaan terus menggenjot produksi dan meningkatkan volume penjualan sesuai dengan kapasitas RKAB, serta berhasil melakukan efisiensi biaya produksi.

NICL memiliki dua Izin Usaha Pertambangan (IUP) tambang nikel:

  • Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, Sulawesi Tengah: Seluas 198 Ha.
  • Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (melalui entitas anak, PT Indrabakti Mustika - IBM): Seluas 576 Ha.

Pada tahun 2024, perusahaan terus melakukan eksplorasi berkelanjutan dan menjaga prinsip konservasi cadangan mineral melalui optimasi pemanfaatan bijih nikel dan diversifikasi produk. Diversifikasi produk dilakukan dengan membagi bijih nikel berdasarkan kadar nikelnya menjadi low grade, middle grade, dan high grade.

NICL juga melakukan pemanfaatan bijih kadar rendah (low grade) dengan mengoptimalkan cutoff grade, sehingga bijih kadar rendah yang sebelumnya dianggap limbah dapat diolah dan dipasarkan.

Sumber Daya dan Neraca Keuangan

Saat ini, sumber daya di daerah IUP NICL adalah sebesar 12,771 juta ton dengan kadar Ni sebesar 1,20%. Sementara itu, sumber daya di daerah IUP entitas anak, IBM, adalah sebesar 74,497 juta ton dengan kadar Ni sebesar 1,10%.

Dari sisi neraca, total aset perusahaan pada tahun 2024 mencapai Rp 1,05 triliun, tumbuh 22,56% dibandingkan dengan Rp 856,83 miliar pada tahun 2023. Rasio utang terhadap ekuitas perusahaan tercatat sebesar 19,58%. Total ekuitas meningkat dari Rp 745,47 miliar menjadi Rp 878,18 miliar pada tahun 2024, disebabkan oleh peningkatan saldo laba yang signifikan.

"Kami cukup optimis atas pencapaian perseroan di tahun 2024, karena berhasil meningkatkan kinerja operasional dan kinerja keuangan tanpa adanya beban utang bank," jelas Ruddy Tjanaka.

Prospek dan Katalis Positif di Tahun 2025

NICL memproyeksikan adanya katalis positif yang dapat mendorong peningkatan harga nikel di tahun 2025. Proyeksi ini didasarkan pada penutupan tambang nikel di beberapa negara produsen dengan biaya produksi tinggi, seperti Australia, Filipina, dan sejumlah negara di Eropa. Hal ini diperkirakan akan mengurangi pasokan nikel global dan mendukung kenaikan harga.

Selain itu, permintaan nikel global diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan kebutuhan kendaraan listrik dan baja nirkarat. Kondisi ini menguntungkan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar, terutama dengan adanya rencana hilirisasi industri nikel di dalam negeri.