Lesunya Pasar Tradisional Surabaya Jelang Lebaran: Pedagang Keluhkan Dominasi E-commerce
Pasar Tradisional Surabaya Didera Sepi Pembeli Jelang Lebaran
Tradisi membeli pakaian baru menjelang Hari Raya Idul Fitri, atau yang lebih dikenal dengan Lebaran, merupakan sebuah tradisi yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Momen ini biasanya menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang pakaian, terutama di pasar-pasar tradisional. Namun, ironi terjadi di pasar-pasar Surabaya tahun ini. Para pedagang mengeluhkan sepinya pembeli, kondisi yang sangat kontras dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Keresahan ini diungkapkan oleh Fitri (45), seorang pedagang pakaian di Pasar Soponyono, Rungkut, Surabaya. Ia mengenang masa kejayaannya sekitar lima tahun lalu, dimana lapaknya selalu diserbu pembeli yang berburu pakaian baru untuk Lebaran. Bahkan, tak jarang terjadi rebutan antar pembeli demi mendapatkan pakaian yang diinginkan. Namun, pemandangan tersebut kini tinggal kenangan.
"Dulu, setiap barang yang saya bawa selalu habis kalau dekat Lebaran seperti ini. Kadang ada pembeli yang sudah mau bayar, lalu ada pembeli lain yang bilang, 'Loh, tadi saya duluan yang bayar, Mbak', jadi rebutan," kenang Fitri.
Era Digital Mengubah Lanskap Perdagangan
Sejak merebaknya toko online atau e-commerce pasca pandemi Covid-19, Fitri merasakan penurunan drastis dalam penjualan setiap tahunnya. Ia mengakui bahwa kehadiran platform online telah mengubah perilaku konsumen, yang kini lebih memilih berbelanja dari rumah.
"Semenjak ada (toko) online itu wes turun banget, makin sepi setiap tahun," keluhnya. Fitri, yang telah lebih dari 10 tahun berdagang pakaian, menawarkan berbagai jenis pakaian, mulai dari gamis, abaya, overall, jilbab, hingga sarung, dengan harga berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 225.000. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, penjualannya mengalami penurunan hingga 50 persen. Pada H-1 minggu Lebaran tahun lalu, ia mampu meraup omzet antara Rp 4 juta hingga Rp 5 juta. Namun, kini, memasuki H-3 Lebaran, ia hanya bisa mendapatkan sekitar Rp 2 juta.
"Kalau dibandingkan tahun kemarin jelas masih ramai tahun kemarin, tetapi ya ramainya masih kalah jauh dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi," ujarnya.
Keluhan Serupa di Pasar Wonokromo
Kondisi serupa juga dirasakan oleh para pedagang di Pasar Wonokromo, Surabaya. Siti (38), seorang pedagang sepatu, mengungkapkan bahwa banyak pelanggannya yang beralih ke toko online. Ia merasa suasana Lebaran tahun ini sangat berbeda.
"Rasanya enggak kayak Lebaran. Sekarang pembeli makin malas buat ke pasar, banyak pelanggan saya yang lebih milih beli online," ujar Siti. Padahal, menurutnya, kualitas barang yang dijual online seringkali tidak sesuai dengan ekspektasi. Ia menawarkan berbagai produk sepatu, mulai dari sepatu wanita, anak-anak, pria, hingga sandal, dengan harga yang cukup terjangkau, mulai dari Rp 40.000 hingga Rp 100.000.
"Sering kali kalau online itu kan antara gambar dan barang enggak sesuai, sedangkan kami jualan kan selalu pilih barang yang lebih bagus, lebih awet, dan memang sesuai," tuturnya.
Strategi Bertahan di Tengah Gempuran E-commerce
Untuk bersaing dengan toko online, Siti selalu berusaha menyesuaikan produknya dengan perkembangan tren. Ia tidak berani mengambil stok barang terlalu banyak karena khawatir tidak laku jika tidak mengikuti tren.
"Jadi, saya enggak pernah mau ambil barang banyak-banyak karena kalau kita enggak ngikuti tren, pembeli itu enggak mau," katanya. Siti sendiri enggan menjual produknya di platform online karena keuntungan yang didapat terlalu kecil.
"Kami harus ngebanting banget kalau produk ini dimasukkan ke online, sedangkan kualitas kami lebih bagus, bisa enggak dapat untung," tuturnya.
Kisah para pedagang di pasar Surabaya ini menjadi potret buram di tengah gegap gempita persiapan Lebaran. Dominasi e-commerce telah mengubah lanskap perdagangan, memaksa para pedagang tradisional untuk beradaptasi atau tergerus oleh zaman.