Strategi Cerdas Kelola Anggaran: Belajar dari Sukses Negara Lain untuk Atasi Defisit Indonesia

Mengatasi Defisit Anggaran: Pelajaran dari Negara-Negara Sukses dan Implementasi Strategi Inovatif

Pada Februari 2025, Indonesia dihadapkan pada tantangan serius dengan defisit anggaran belanja mencapai Rp 31,2 triliun. Situasi ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan dan mereformasi manajemen keuangan publik. Di tengah kompleksitas geopolitik global, perubahan demografi, dan ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi, paradigma pengelolaan keuangan yang konvensional, seperti pemotongan belanja, peningkatan utang, atau kenaikan pajak, terbukti tidak lagi efektif.

Indonesia dapat belajar dari keberhasilan negara-negara seperti Singapura dan beberapa negara Eropa yang berhasil mengoptimalkan aset publik untuk menciptakan sumber pendapatan baru. Pendekatan ini memerlukan perubahan fundamental dalam cara pemerintah memandang dan mengelola aset yang dimiliki.

Transformasi Akuntansi: Dari Berbasis Kas ke Akrual

Sebagian besar negara, termasuk Indonesia, masih menggunakan sistem akuntansi berbasis kas, yang hanya mencatat transaksi ketika uang berpindah tangan. Sistem ini mengabaikan nilai aset dan kewajiban jangka panjang, seperti properti pemerintah, infrastruktur, dan pensiun pegawai negeri. Padahal, sistem akuntansi akrual, yang mencatat pendapatan dan pengeluaran saat terjadi, memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kesehatan fiskal.

Contohnya, kota Pittsburgh di Amerika Serikat menemukan bahwa nilai aset propertinya 70 kali lebih tinggi dari catatan keuangan resmi. Jika dikelola dengan baik, aset ini dapat menghasilkan pendapatan non-pajak yang signifikan. Sebaliknya, kegagalan mengelola kewajiban non-utang, seperti pensiun pegawai negeri atau liabilitas BUMN, dapat memperparah defisit.

Menurut IMF, rasio kewajiban pensiun pemerintah di Indonesia mencapai 45% dari PDB pada tahun 2023. Transparansi liabilitas jangka panjang melalui laporan neraca sektor publik, seperti yang dilakukan Swedia dan Kanada, mendorong kebijakan yang lebih berkelanjutan.

Langkah-langkah yang perlu diambil:

  • Mempercepat transisi ke akuntansi akrual seperti yang dilakukan Selandia Baru.
  • Membentuk sistem pelaporan aset publik yang transparan, termasuk properti, BUMN, dan infrastruktur strategis.
  • Mengadopsi metrik nilai bersih sektor publik sebagai indikator utama kesehatan fiskal.

Pembentukan Dana Kekayaan Publik (PWFs)

Singapura, melalui Temasek Holdings, dan Malaysia, melalui Khazanah Nasional, telah membuktikan bahwa pengelolaan aset komersial melalui PWFs dapat menghasilkan pendapatan yang signifikan. Temasek, misalnya, mengelola portofolio senilai 315 miliar dollar AS pada tahun 2024, menyumbang sekitar 20% belanja pemerintah Singapura melalui hasil investasi. PWFs dirancang untuk memaksimalkan keuntungan bagi pembayar pajak, terlepas dari intervensi politik.

Singapura telah membangun salah satu portofolio kekayaan negara terbesar di dunia, dengan aset yang diperkirakan bernilai tiga hingga empat kali lipat PDB tahunan. Kesuksesan ini didorong oleh kerja keras, inovasi, dan disiplin finansial.

Indonesia memiliki aset serupa yang belum tergarap. Kementerian BUMN mencatat nilai aset BUMN mencapai Rp 11.000 triliun pada tahun 2023, tetapi kontribusinya ke APBN hanya Rp 60 triliun per tahun. Jika Indonesia membentuk PWFs nasional untuk mengonsolidasi aset BUMN, properti pemerintah, dan lahan militer yang idle, defisit Rp 31,2 triliun dapat tertutup hanya dari peningkatan efisiensi 3-5% saja.

Langkah-langkah yang perlu diambil:

  • Membentuk PWFs di tingkat nasional dan daerah untuk mengelola aset seperti properti pemerintah, BUMN, dan infrastruktur.
  • Menjamin independensi PWFs melalui dewan direksi profesional dan target komersial yang jelas.

Mitigasi Risiko dan Sinergi Kebijakan Global

Pembentukan PWFs harus disertai reformasi hukum dan transparansi. Pemerintah harus memaksimalkan pendapatan operasional aset, misalnya, dengan menyewakan Gedung DPR Senayan atau kompleks militer di daerah strategis untuk kegiatan komersial dengan skema public-private partnership. Pemerintah harus menghindari penjualan aset likuid dan berfokus pada peningkatan pendapatan operasional aset.

Sinergi dengan kebijakan global, seperti memanfaatkan pendanaan iklim melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dollar AS, dapat digunakan untuk mengurangi defisit energi. Penting juga untuk memperkuat kerja sama dengan IMF dan Bank Dunia untuk memperoleh asistensi teknis dalam reformasi akuntansi.

Defisit Rp 31,2 triliun merupakan panggilan untuk transformasi. Indonesia harus belajar dari kegagalan negara lain dan mencontoh kesuksesan Singapura dalam mengelola kekayaan negara. Dengan mengadopsi akuntansi akrual, membentuk PWFs, dan memanfaatkan momentum kerja sama global, Indonesia dapat mengubah defisit menjadi peluang pertumbuhan.

Indonesia perlu membangun budaya anggaran yang menghargai transparansi, akuntabilitas, dan inovasi. Langkah ini tidak hanya adil bagi generasi mendatang, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi dalam menghadapi gejolak geopolitik.