Ritual Mudik Keluarga: Perjalanan Malang-Tangerang, Merajut Rindu dan Tradisi

Ritual Mudik Keluarga: Perjalanan Malang-Tangerang, Merajut Rindu dan Tradisi

Setiap tahun, hiruk pikuk mudik mewarnai Indonesia, sebuah tradisi yang menghubungkan jutaan perantau dengan kampung halaman. Bagi As'ad Arifin dan Wilda Fizriyani, sebuah keluarga kecil yang tinggal di Wagir, Malang, mudik bukan sekadar perjalanan tahunan, melainkan sebuah ritual sakral yang mempererat tali persaudaraan dan mengukir kenangan abadi.

Tahun ini, Tangerang Selatan menjadi tujuan mudik mereka, sebuah pilihan setelah sebelumnya mengunjungi Bojonegoro. Bagi As'ad dan Wilda, mudik adalah investasi emosional, sebuah kesempatan untuk mengisi kembali energi dan memperkuat ikatan keluarga yang mungkin merenggang karena jarak dan waktu.

Perburuan Tiket dan Kenyamanan Perjalanan

Begitu informasi pemesanan tiket dibuka, As'ad dan Wilda langsung bersiap. Era digital memungkinkan mereka berburu tiket secara daring, menghindari antrean panjang di stasiun. Kemudahan ini sangat membantu, terutama dengan kehadiran anak mereka.

"Kami langsung 'war tiket' tengah malam sekitar sebulan sebelum keberangkatan. Lebih praktis secara online dan tidak perlu pergi ke stasiun," ungkap As'ad.

Kereta api menjadi pilihan transportasi utama. Selain alasan ekonomis, kereta api menawarkan ruang gerak yang lebih luas bagi anak mereka selama perjalanan panjang. Kenyamanan anak menjadi prioritas utama.

"Naik kereta api memungkinkan anak kami berjalan-jalan ke gerbong lain atau ke gerbong makan jika bosan. Meskipun perjalanan dari Malang ke Stasiun Jatinegara memakan waktu sekitar 12 jam, sekarang kereta api lebih bersih dan tempat duduknya lebih nyaman," lanjut As'ad.

Makna Mudik Bagi Wilda

Bagi Wilda, yang telah bekerja di Malang sejak 2017, mudik memiliki makna yang lebih dalam. Perjalanan ini bukan hanya sekadar pulang kampung, tetapi juga membawa kembali kehangatan keluarga yang jarang ia rasakan.

"Saya sangat senang bisa mudik, karena pulang ke Tangerang Selatan jarang dilakukan karena jaraknya yang jauh," kata Wilda.

Seiring bertambahnya usia anak mereka, perjalanan mudik menjadi lebih mudah. Persiapan pun menjadi lebih ringkas, fokus pada kebutuhan anak selama perjalanan.

"Sekarang lebih mudah, kami hanya perlu membawa perlengkapan mandi dan camilan agar dia tidak bosan," imbuhnya.

Pertemuan dan Kisah di Perjalanan

Perjalanan mudik seringkali menjadi ajang pertemuan tak terduga dan pertukaran cerita dengan sesama pemudik. Berjam-jam di dalam gerbong kereta api menciptakan ruang untuk saling berbagi pengalaman dan perspektif baru.

"Selama perjalanan, kami sering bertemu orang baru dan berkenalan. Kadang-kadang mereka berbagi cerita, jadi rasanya seperti mendapatkan pengalaman baru di sepanjang jalan," ujar Wilda.

Menguatkan Ikatan Keluarga

Mudik menjadi kesempatan emas untuk mempererat hubungan antara anak mereka dengan kakek neneknya di Tangerang Selatan. Momen ini juga menjadi ajang reuni dengan keluarga besar yang jarang ditemui.

"Anak kami jarang bertemu kakek neneknya di Tangerang Selatan. Mudik ini menjadi kesempatan untuk memperkuat hubungan mereka. Begitu juga dengan keluarga besar, yang hanya bisa kami temui saat momen-momen tertentu," jelas Wilda.

Rindu Rasa Kampung Halaman

Tak lengkap rasanya mudik tanpa mencicipi cita rasa kampung halaman. As'ad sangat merindukan nasi uduk dengan lauk semur, hidangan favoritnya yang selalu ia nantikan setiap tahun.

"Saya juga kangen nasi uduk dengan lauk semur di Tangsel," pungkas As'ad.

Bagi As'ad dan Wilda, mudik bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosional yang menghubungkan mereka dengan akar budaya dan keluarga. Sebuah ritual tahunan yang memperkaya jiwa dan mempererat ikatan yang tak ternilai harganya.