Menjalani Puasa Ramadhan di Jepang: Tantangan dan Adaptasi Seorang Pekerja Muslim
Menjalani Puasa Ramadhan di Jepang: Tantangan dan Adaptasi Seorang Pekerja Muslim
Menjalani ibadah puasa Ramadhan di negara asing, khususnya di Jepang yang memiliki budaya dan kebiasaan berbeda dengan negara-negara mayoritas Muslim, menghadirkan pengalaman unik bagi Aya, seorang warga negara Indonesia yang telah enam tahun tinggal dan bekerja di Negeri Sakura tersebut. Tidak adanya kebijakan khusus di tempat kerja yang mengakomodasi ibadah puasa Ramadhan, ditambah dengan minimnya pemahaman rekan kerja tentang bulan suci ini, menjadi tantangan tersendiri bagi Aya. Namun, di tengah perbedaan budaya dan lingkungan kerja yang tidak sepenuhnya familiar dengan Ramadhan, Aya mampu beradaptasi dan menjalankan ibadah puasanya dengan penuh kesabaran dan ketekunan.
Pengalaman Awal Puasa di Negeri Matahari Terbit
Pertama kali menjalani Ramadhan di Jepang pada tahun 2017-2018, saat masih berstatus pelajar, Aya menghadapi perbedaan signifikan dalam menjalankan ibadah puasa. Jadwal sahur yang sangat dini, sekitar pukul 02.30 pagi, menjadi tantangan awal. Berbeda dengan di Indonesia di mana aktivitas umumnya dimulai setelah shubuh, di Jepang, sekolah dan pekerjaan baru dimulai sekitar pukul 09.00 pagi, membuat waktu istirahat setelah sahur menjadi sangat terbatas. Kehidupan di Jepang yang tidak begitu kental nuansa Ramadhan juga memberikan kesan berbeda. Tanpa komunitas Muslim, Aya menjalani Ramadhan sendirian, berbeda dengan pengalamannya di Indonesia. Ia mengandalkan makanan sederhana untuk sahur dan berbuka, mengingat kesibukan dan minimnya waktu untuk memasak. Menu sahur biasanya berupa onigiri, roti, atau susu, sebagai pilihan praktis dan efisien waktu.
Interaksi dengan Rekan Kerja dan Dukungan Atasan
Setelah bekerja penuh waktu di Namegata, Prefektur Ibaraki, Aya menghadapi tantangan baru dalam berinteraksi dengan rekan kerja yang tidak memahami kebiasaan berpuasa. Kebiasaan makan siang bersama rekan kerja menjadi hal yang berbeda selama Ramadhan. Awalnya, pertanyaan-pertanyaan muncul dari rekan kerja yang penasaran dengan kebiasaan Aya yang tidak makan siang selama sebulan penuh. Pertanyaan-pertanyaan tersebut beragam, mulai dari keheranan atas larangan makan dan minum hingga pertanyaan yang dilatarbelakangi oleh miskonsepsi bahwa puasa merupakan hukuman dari Tuhan. Dengan sabar, Aya menjelaskan bahwa puasa bukanlah hukuman, melainkan ibadah yang telah ia jalani sejak kecil. Ia bahkan pernah menggunakan riset ilmiah dari ilmuwan Jepang tentang manfaat puasa bagi kesehatan untuk menjelaskan hal ini.
Meskipun tidak ada kebijakan khusus di perusahaan untuk Muslim yang berpuasa, termasuk tidak adanya mushola, perusahaan tetap memberikan fleksibilitas waktu bagi Aya untuk melaksanakan ibadah sholat. Ia memanfaatkan waktu istirahat makan siang dan waktu istirahat pendek untuk menunaikan sholat Zuhur dan Ashar. Ruang meeting yang bersih menjadi tempat ia menunaikan sholat. Seiring waktu, pemahaman dan dukungan dari atasan dan rekan kerja meningkat. Atasan Aya, yang sering bepergian ke luar negeri, mulai memahami Ramadhan setelah melihat program TV Jepang yang membahas tentang bulan suci tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan ucapan selamat Ramadhan setiap tahun dan kesadaran atasan untuk memberitahu tamu kantor tentang kondisi Aya yang sedang berpuasa. Bahkan, ibu dari atasannya pernah memberikan makanan untuk berbuka puasa, sebuah tindakan yang menunjukkan rasa hormat dan kepedulian.
Strategi Adaptasi dan Menu Puasa
Aya juga beradaptasi dengan kondisi cuaca, terutama saat Ramadhan jatuh pada Mei-Juni, di mana suhu sudah mulai meningkat. Ia telah terbiasa berpuasa sunnah di musim panas, sehingga lebih siap menghadapi tantangan ini. Untuk menghemat waktu dan tenaga, Aya mempersiapkan stok makanan beku dari penjual makanan Indonesia di Jepang sebelum Ramadhan tiba. Sedangkan untuk sahur, ia memilih menu praktis seperti oatmeal atau yogurt yang disiapkan malam sebelumnya.
Kesimpulannya, pengalaman Aya menunjukkan bahwa menjalankan ibadah puasa di lingkungan kerja yang berbeda budaya membutuhkan adaptasi dan kesabaran. Namun, dengan komunikasi yang baik dan pemahaman yang tumbuh seiring waktu, tantangan tersebut dapat diatasi. Dukungan dari atasan dan rekan kerja juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan Aya menjalani ibadah puasa di Jepang.