Gelombang Aksi Ojol Mengancam Jakarta Pasca Lebaran: Tinjauan Ulang Tarif dan Legalitas Mendesak

Ancaman Aksi Massal Ojek Online Pasca Lebaran: Fokus pada Keadilan Tarif dan Kepastian Hukum

Jakarta kembali dihadapkan pada potensi gelombang demonstrasi besar-besaran dari kalangan pengemudi ojek online (ojol). Asosiasi Garda Indonesia secara terbuka menyampaikan rencana untuk menggelar aksi unjuk rasa setelah perayaan Idul Fitri. Aksi ini bukan semata-mata soal bonus hari raya (BHR), melainkan eskalasi dari kekecewaan yang lebih mendalam terkait sistem tarif yang dianggap tidak adil dan ketiadaan payung hukum yang jelas bagi para pengemudi.

Raden Igun Wicaksono, Ketua Umum Garda Indonesia, menjelaskan bahwa fokus utama aksi kali ini adalah mendesak aplikator untuk secara signifikan memangkas potongan biaya aplikasi yang selama ini memberatkan pengemudi. Selain itu, Garda Indonesia juga menuntut adanya intervensi pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi mitra pengemudi ojol, sebuah isu yang telah lama diperjuangkan.

Tiga Tuntutan Utama Garda Indonesia:

  1. Payung Hukum yang Jelas: Negara harus hadir untuk memberikan legalitas formal bagi profesi pengemudi ojol, melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja.
  2. Revisi Potongan Aplikasi: Pemerintah perlu menetapkan batas maksimal potongan aplikasi sebesar 10% dan memberlakukan sanksi tegas bagi aplikator yang melanggar ketentuan ini. Potongan aplikasi yang selama ini mencapai hampir 50% dinilai sangat memberatkan pengemudi.
  3. Penertiban Tarif Ojol: Pemerintah harus menertibkan sistem tarif ojol yang kerap kali tidak sesuai dengan regulasi, termasuk menghapus praktik-praktik seperti skema 'aceng', 'slot', double order dan hub yang merugikan pengemudi. Skema-skema ini dinilai tidak transparan dan membebani pengemudi dengan biaya tambahan yang tidak jelas.

Igun mengakui adanya kekecewaan terhadap nominal BHR yang diterima oleh sebagian pengemudi. Banyak laporan yang masuk menyebutkan bahwa ada pengemudi yang hanya menerima bonus sebesar Rp 50 ribu. Namun, Garda Indonesia memilih untuk mengalihkan fokus pada isu yang lebih mendasar dan memiliki dampak jangka panjang, yaitu legalitas pengemudi ojol dan pengurangan biaya aplikasi yang dianggap tidak masuk akal.

"Kami sangat kecewa karena selama ini ojol dipotong biaya aplikasi hampir mencapai 50% setiap orderan dan rata-rata ojol sudah memberikan kontribusi pendapatan sangat besar kepada aplikator, ada yang setahun mencapai Rp 60 juta bahkan lebih," tegas Igun. Pernyataan ini mencerminkan akumulasi kekecewaan pengemudi terhadap sistem yang dinilai tidak berimbang.

Aksi unjuk rasa yang akan datang bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Garda Indonesia. Pada tahun-tahun sebelumnya, aksi serupa telah digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, dengan tuntutan yang kurang lebih sama. Konsistensi dalam menyuarakan aspirasi ini menunjukkan betapa krusialnya isu tarif dan legalitas bagi keberlangsungan hidup para pengemudi ojol.

Potensi demonstrasi besar-besaran ini menjadi sinyal bagi pemerintah dan aplikator untuk segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pengemudi ojol. Dialog yang konstruktif dan solusi yang adil dan berkelanjutan menjadi kunci untuk meredam ketegangan dan menciptakan ekosistem ojek online yang lebih sehat dan berkeadilan. Ketegangan yang terus berlanjut dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial, serta berdampak negatif pada citra industri ojek online secara keseluruhan.