Korban Pelecehan KRL Bersuara: Akar Masalah pada Mentalitas Laki-Laki, Bukan Pakaian Perempuan

Pelecehan Seksual di KRL: Perempuan Tuntut Perubahan Mindset Laki-Laki

Jakarta, [Tanggal Hari Ini] - Kasus pelecehan seksual di transportasi umum, khususnya Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line, kembali menjadi sorotan tajam. Dua perempuan muda, Bina (22) dan Cecil (22), dengan berani menyuarakan pendapat mereka mengenai akar permasalahan dan solusi yang seharusnya diambil.

Bina, dalam wawancaranya, dengan tegas menyatakan bahwa tanggung jawab pencegahan pelecehan seksual tidak seharusnya dibebankan hanya kepada perempuan. Ia mengkritik pandangan yang menyalahkan korban berdasarkan pakaian yang dikenakan. "Semua kasus pelecehan seksual yang terjadi di KRL itu bukan salah perempuan," tegasnya. "Yang salah adalah pemikiran laki-laki yang selalu ingin merendahkan dan melecehkan perempuan."

Ia menyoroti adanya mentalitas merendahkan perempuan yang masih kuat di sebagian kalangan laki-laki. Sikap ini, menurutnya, menciptakan dominasi dan perasaan berhak untuk menguasai serta melecehkan. Bina menekankan pentingnya edukasi yang komprehensif bagi laki-laki agar tidak menjadi pelaku pelecehan seksual.

"Bukan selalu perempuan yang dituntut agar tidak menjadi korban, seperti harus berpakaian tertutup, melainkan laki-laki harus diedukasi agar tidak menjadi pelaku," jelasnya. Bina menceritakan pengalamannya sendiri menjadi korban pelecehan seksual meski sudah mengenakan pakaian oversize dan celana bahan hitam. Pengalaman ini membuktikan bahwa pelecehan terjadi bukan karena pakaian korban, melainkan karena niat pelaku.

Cecil, seorang mahasiswi yang juga penumpang KRL, sependapat dengan Bina. Ia menekankan bahwa fokus utama dalam pencegahan pelecehan seksual seharusnya adalah peningkatan kesadaran laki-laki. "Daripada antisipasi perempuan, justru lebih ke kesadaran laki-laki terhadap pelecehan seksual di KRL," ujarnya.

Cecil menambahkan bahwa perempuan sudah berupaya maksimal untuk menjaga diri dan berhati-hati. Namun, upaya ini akan sia-sia jika pelaku, yang notabene adalah laki-laki, tidak memiliki kesadaran yang cukup. "Kalau memang pemikiran laki-laki tidak ada yang aneh dan kesadarannya terhadap pelecehan seksual tinggi, tidak akan ada korban dan kasus lagi di KRL," tegasnya.

Cecil kemudian menceritakan pengalamannya sendiri, di mana ia kerap menjadi sasaran laki-laki berusia sekitar 40 tahun yang berusaha mendekati bagian belakang tubuhnya. Meskipun sudah berusaha menghindar, pelaku tetap berusaha mendekat. Pengalaman ini semakin menguatkan keyakinannya bahwa edukasi tentang pelecehan seksual sangat penting untuk diberikan kepada laki-laki.

Solusi yang Ditawarkan:

  • Edukasi yang Komprehensif: Program edukasi yang menyasar laki-laki tentang batasan-batasan dalam berinteraksi dengan perempuan, pentingnya menghormati ruang pribadi, dan konsekuensi hukum dari tindakan pelecehan seksual.
  • Kampanye Kesadaran Publik: Kampanye yang gencar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang berbagai bentuk pelecehan seksual dan dampaknya bagi korban.
  • Penegakan Hukum yang Tegas: Aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku pelecehan seksual agar memberikan efek jera dan melindungi korban.
  • Pelatihan bagi Petugas KRL: Petugas KRL perlu dilatih untuk mengenali potensi terjadinya pelecehan seksual dan mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi korban.
  • Penyediaan Layanan Dukungan bagi Korban: Korban pelecehan seksual membutuhkan dukungan psikologis dan hukum. Pemerintah dan organisasi masyarakat perlu menyediakan layanan dukungan yang mudah diakses.

Kedua perempuan ini berharap, dengan adanya kesadaran dan tindakan nyata dari semua pihak, kasus pelecehan seksual di KRL dan transportasi umum lainnya dapat diminimalisir, menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman bagi semua orang.