Kontras Kecam Represi Aparat dalam Aksi Penolakan RUU TNI di Kediri, Sejumlah Demonstran Terluka
Kontras Kritik Tindakan Represif Polisi Kediri Terhadap Demonstran RUU TNI
Surabaya - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian Kota Kediri, Jawa Timur, saat membubarkan aksi demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Kamis (27/3/2025) malam. Organisasi hak asasi manusia tersebut menilai penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian telah menyebabkan sejumlah demonstran mengalami luka-luka.
Shafira Noor Adlina, Kepala Biro Kampanye dan Mobilisasi Kontras Surabaya, menyatakan kekecewaannya atas insiden tersebut. "Kami sangat menyayangkan terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Seharusnya, aparat dapat mengedepankan dialog dan cara-cara persuasif dalam menangani aksi unjuk rasa," tegasnya. Kontras Surabaya juga menyesalkan adanya korban luka di pihak demonstran akibat tindakan represif tersebut. Berdasarkan informasi yang dihimpun, beberapa demonstran mengalami luka di bagian kepala dan memerlukan perawatan medis intensif di rumah sakit. Luka-luka tersebut bahkan membutuhkan tindakan medis seperti jahitan.
Kronologi Demonstrasi dan Tanggapan Pihak Kepolisian
Aksi unjuk rasa yang digelar oleh Aliansi Sekartaji, sebuah gabungan elemen mahasiswa, buruh, masyarakat sipil, dan pelajar, berlangsung di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kediri, Jalan Mayor Bismo. Aksi dimulai dengan orasi dan penyampaian aspirasi terkait penolakan RUU TNI. Namun, situasi kemudian memanas dan berujung pada bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian. Menurut keterangan dari pihak kepolisian, aksi pembubaran dilakukan karena situasi dianggap telah membahayakan dan mengganggu ketertiban umum. Kepala Kepolisian Resor (Polres) Kediri Kota, AKBP Bramastyo, mengklaim bahwa tindakan pengamanan telah dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).
"Kami telah melakukan upaya negosiasi. Namun, peserta aksi melakukan tindakan yang membahayakan dengan melakukan pelemparan, menyalakan kembang api, dan melempar molotov," ujar AKBP Bramastyo kepada wartawan. Dalam pengamanan aksi tersebut, kepolisian melibatkan berbagai unsur, termasuk Brimob dan TNI. Polisi juga mengerahkan kendaraan taktis water cannon untuk membubarkan massa. Selain itu, personel kepolisian melakukan penyisiran di area sekitar lokasi demonstrasi, termasuk gang-gang dan bangunan yang diduga menjadi tempat persembunyian demonstran.
Dampak Aksi dan Tindakan Hukum
Akibat insiden tersebut, sebanyak 21 peserta aksi ditangkap oleh pihak kepolisian. Beberapa di antaranya mengalami luka-luka. Setidaknya dua orang dilaporkan mengalami luka serius di bagian kepala dan harus mendapatkan jahitan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Al-Amin, yang mendampingi para korban, menyatakan bahwa para demonstran yang ditangkap telah diperbolehkan pulang setelah mendapatkan penanganan medis. Direktur LBH Al-Amin, Taufik Hidayah, membenarkan bahwa seluruh korban luka telah pulang usai menjalani perawatan.
Kontras Surabaya menekankan pentingnya evaluasi terhadap SOP pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Mereka mendesak agar aparat kepolisian lebih mengedepankan pendekatan dialogis dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam menangani aksi unjuk rasa. Kasus ini menjadi sorotan karena kembali mengingatkan publik akan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam setiap tindakan penegakan hukum.