Tradisi Pengerupukan Bali Hambat Pemudik: Aksi Nekat Kejar Penyeberangan Gilimanuk
Tradisi Pengerupukan Bali Hambat Pemudik: Aksi Nekat Kejar Penyeberangan Gilimanuk
Malam Pengerupukan, sebuah tradisi sakral dalam rangkaian Hari Raya Nyepi di Bali, menghadirkan tantangan tersendiri bagi para pemudik yang berupaya menyeberang melalui Pelabuhan Gilimanuk, Jembrana. Iring-iringan pawai ogoh-ogoh yang megah dan mempesona, melintasi berbagai desa dan kecamatan di Pulau Dewata, menciptakan kemacetan signifikan, terutama di jalur utama Denpasar-Gilimanuk. Kondisi ini memaksa para pemudik untuk berpikir matang sebelum memulai perjalanan.
DetikBali melaporkan bahwa pada Jumat malam (28/3/2025), sejumlah pemudik masih terjebak dalam kepadatan lalu lintas di sekitar Desa Bajera, Kecamatan Selemadeg, Tabanan. Mereka aktif mencari informasi terkini mengenai jadwal penyeberangan di Pelabuhan Gilimanuk melalui media sosial.
"Mohon info penyeberangan tutup sampai jam berapa ya. Soalnya kami masih terjebak macet arakan ogoh-ogoh di Bajera, Tabanan," keluh seorang pengguna media sosial.
Fenomena ini menggambarkan dilema yang dihadapi para pemudik: mengejar waktu penyeberangan di tengah padatnya lalu lintas akibat pawai ogoh-ogoh yang merupakan bagian integral dari tradisi Pengerupukan.
Kenekatan Pemudik di Tengah Kemacetan
Di Kecamatan Kediri, Tabanan, seorang pemudik bernama Awe (39), asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengungkapkan kurangnya persiapan dalam perjalanan mudiknya. Ia memilih berangkat malam dengan harapan dapat mengejar waktu penyeberangan.
"Tadi berangkat dari Dalung sekitar jam 8 malam. Alasan berangkat malam? Sebisanya waktunya aja. Lagi ada duitnya, lagi ada waktunya," ujar Awe.
Perkiraan waktu tempuh menuju Pelabuhan Gilimanuk adalah 3-4 jam, namun Awe menyadari bahwa kelancaran perjalanan tidak dapat dijamin.
"Nggak tahu sih, paling balik," ungkapnya dengan nada pasrah.
Meski dihadapkan dengan potensi kendala, Awe tetap melanjutkan perjalanan dengan strategi memanfaatkan kelonggaran lalu lintas.
"Selama masih sepi, ngebut aja. Kalau ramai selap-selip. Dimaksimalkan saja waktunya," jelasnya.
Awe, yang telah dua tahun menetap di Dalung, telah terbiasa melakukan perjalanan seorang diri antara Jogja-Bali dengan sepeda motor.
Mudik di malam Pengerupukan menjadi pengalaman unik baginya. Ia bahkan terbuka bagi pemudik lain yang ingin melakukan perjalanan bersama.
"Ya kadang ada yang ngajakin bareng, ya gas aja. Penting sampai," imbuhnya.
Lebaran tahun ini akan menjadi perjalanan mudik terakhirnya, karena ia berencana untuk menetap kembali di Sleman atas permintaan keluarga yang telah menyiapkan usaha untuknya.
"Iya terakhir, di sana dibuatin tempat usaha sama keluarga," tegasnya.
Awe berharap dapat menyeberang ke Pulau Jawa tepat waktu dan beristirahat secara berkala selama perjalanan.
"Ya kan ini motor kecil, 2 jam sekali istirahat kalau sudah sampai di Jawa. Ya biar motor juga bisa istirahat, akunya juga sama," katanya.
Ia juga berencana mengunjungi beberapa teman di Pulau Jawa sebelum melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.
"Nanti bisa juga mampir-mampir ke tempat teman, entah di Surabaya atau di mana gitu. Tapi cuma mampir, habis itu lanjut sampai Jogja," ungkapnya.
Upaya Pengaturan Lalu Lintas
Kasat Lantas Polres Tabanan AKP Anton Suherman menyatakan bahwa petugas telah melakukan pengaturan lalu lintas, terutama di wilayah Selemadeg, untuk memfasilitasi perjalanan para pemudik.
"Tadi di Bajera tetap dialirkan, cuma memang agak tersendat aja. Kami maksimalkan agar pemudik bisa segera sampai pelabuhan," ujar Anton kepada detikBali, Sabtu (29/3/2025) dini hari.
Upaya ini menunjukkan komitmen pihak kepolisian dalam membantu para pemudik untuk mencapai tujuan mereka di tengah kepadatan lalu lintas yang disebabkan oleh tradisi Pengerupukan.