Wacana Domisili Caleg: Komisi II DPR Setujui Pembatasan untuk DPRD, Tolak Penerapan Seragam untuk DPR RI
Wacana Domisili Caleg: Komisi II DPR Setujui Pembatasan untuk DPRD, Tolak Penerapan Seragam untuk DPR RI
Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, memberikan tanggapan resmi terkait gugatan yang diajukan sejumlah mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut mempersoalkan syarat keharusan calon anggota legislatif (caleg) berdomisili di daerah pemilihan (dapil) mereka. Yusuf menyatakan dukungannya terhadap syarat domisili tersebut, namun hanya terbatas pada calon anggota DPRD. Pertimbangan utama, menurutnya, terletak pada perbedaan ruang lingkup kewenangan antara DPRD dan DPR RI.
Dalam keterangannya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (5/3/2025), Dede Yusuf menjelaskan bahwa kewenangan DPRD yang bersifat lokal, khususnya dalam pengawasan anggaran dan pembuatan Peraturan Daerah (Perda) serta Peraturan Gubernur (Pergub), membuat persyaratan domisili tersebut menjadi relevan. "DPRD memiliki fungsi pengawasan dan budgeting yang sangat spesifik untuk Perda dan Pergub, sehingga keterikatan dengan daerah pemilihan menjadi penting," ujarnya. Sebaliknya, DPR RI memiliki jangkauan kewenangan yang jauh lebih luas, meliputi seluruh wilayah nasional. Legislator dari Partai Demokrat ini menekankan bahwa DPR RI bertanggung jawab atas pembuatan undang-undang nasional dan pengawasan terhadap berbagai peraturan pemerintah, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), hingga Peraturan Presiden (Perpres).
Lebih lanjut, Dede Yusuf menjelaskan penolakannya terhadap penerapan syarat domisili yang seragam untuk DPR RI. Ia berpendapat bahwa memaksakan persyaratan tersebut bagi caleg DPR RI akan terlalu membatasi dan tidak efektif. "DPR RI mengawasi pemerintahan nasional, sehingga tidak tepat jika semua caleg DPR RI diharuskan memiliki keterikatan kuat dengan dapilnya," tegasnya. Ia menambahkan bahwa persyaratan domisili yang terlalu ketat dapat menimbulkan masalah praktis, misalnya jika pusat pemerintahan dipindahkan ke Ibu Kota Nusantara (IKN). "Bayangkan jika semua caleg harus pindah domisili ke IKN, itu akan menjadi masalah besar," imbuhnya.
Sebagai alternatif, Dede Yusuf menyarankan agar caleg DPR RI memiliki bukti kontribusi nyata di dapilnya, minimal selama dua tahun. Hal ini bertujuan untuk menghindari praktik caleg yang hanya memanfaatkan dapil tertentu tanpa memiliki rekam jejak dan keterikatan yang signifikan dengan masyarakat di daerah tersebut. "Kita perlu memastikan caleg bukan hanya sekadar datang saat pemilu, tetapi benar-benar memiliki kontribusi di daerah pemilihannya," jelasnya. Ia menegaskan kembali dukungannya terhadap syarat domisili untuk caleg DPRD, karena relevansi dengan ruang lingkup kewenangan yang terbatas.
Gugatan yang diajukan oleh delapan mahasiswa ke MK dengan nomor perkara 7/PUU-XXIII/2025 telah terdaftar dan tengah diproses. Mahasiswa tersebut antara lain Ahmad Syarif Hidayaatuullah, Arief Nugraha Prasetyo, Samuel Raj, Alvin Fauzi Khaq, Aura Pangeran Java, Akhilla Mahendra Putra, Arya Ashfihani HA, dan Isnan Surya Anggara. Mereka mengajukan keberatan terhadap pasal dalam UU Pemilu yang mensyaratkan domisili caleg di dapil masing-masing.
Kesimpulannya, Komisi II DPR memiliki pandangan berbeda terkait syarat domisili caleg. Mereka mendukung penerapan syarat tersebut untuk DPRD karena relevansi dengan kewenangan lokal, tetapi menolak penerapan yang sama untuk DPR RI karena luasnya cakupan kewenangan dan potensi masalah praktis yang ditimbulkan. Alternatif solusi yang diajukan menekankan pada bukti kontribusi nyata caleg di dapilnya, bukan semata-mata pada persyaratan domisili.