Harmoni dalam Perbedaan: Refleksi Nyepi dan Idul Fitri di Tengah Gelombang Krisis

Bali: Simfoni Toleransi di Antara Nyepi dan Idul Fitri

Momentum perayaan Hari Raya Nyepi umat Hindu dan Idul Fitri umat Islam kembali hadir dalam waktu berdekatan. Fenomena ini bukan hal baru, melainkan potret indah toleransi yang telah lama terukir di Pulau Dewata, Bali. Di sana, umat Hindu dan Islam hidup berdampingan, menjalankan ibadah masing-masing dengan penuh khidmat dan saling menghormati.

Tradisi toleransi ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Saat Nyepi tiba, umat Islam tetap dapat menjalankan ibadah salat tarawih dengan tenang, dijaga oleh Pecalang yang memastikan kekhusyukan mereka. Begitu pula saat umat Hindu melaksanakan Melasti, iring-iringan mereka berbagi jalan dengan antrean kendaraan pemudik menuju Pelabuhan Gilimanuk, menciptakan harmoni di tengah kesibukan.

Orang Bali bahkan memiliki sebutan khusus untuk saudara Muslim mereka: Nyama Selam, yang berarti "saudara Islam". Sebuah ungkapan yang mencerminkan kedekatan dan persaudaraan yang terjalin erat. Toleransi ini juga meluas ke umat Kristiani, yang tetap dapat beribadah dengan tertib saat Nyepi tiba, atau memilih untuk beribadah di rumah demi menjaga kesunyian.

Semangat kerukunan ini kemudian menginspirasi berdirinya Puja Mandala di Nusa Dua, sebuah kompleks peribadatan yang unik karena menaungi lima rumah ibadah dari agama berbeda: masjid, gereja Katolik, vihara, gereja Kristen, dan pura. Puja Mandala menjadi simbol nyata toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Nyepi, bagi umat Hindu, adalah waktu untuk kembali ke titik nol, memberikan kesempatan bagi alam semesta untuk bernapas. Selama 24 jam, aktivitas duniawi dihentikan. Bandara, pelabuhan, dan tempat wisata ditutup. Suara bising digantikan oleh keheningan, memberikan ruang bagi kontemplasi dan introspeksi diri.

Setelah pawai ogoh-ogoh yang meriah pada malam pengerupukan, umat Hindu merayakan tahun baru Saka dengan hening di rumah, menjalankan Catur Brata Penyepian:

  • Amati Geni (tidak menyalakan api)
  • Amati Lelungan (tidak bepergian)
  • Amati Karya (tidak bekerja)
  • Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang)

Refleksi di Tengah Krisis: Sebuah Kerisauan Nasional

Namun, di tengah keindahan toleransi dan kesucian Nyepi serta Idul Fitri, muncul kerisauan tentang kondisi negara. Serangkaian peristiwa politik dan perilaku pejabat publik menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat.

Revisi Undang-Undang TNI (UU TNI) yang diproses kilat tanpa partisipasi publik memicu gelombang protes dari mahasiswa dan masyarakat sipil. Revisi ini dianggap mengancam supremasi sipil dan demokrasi karena memperluas kewenangan TNI.

Selain itu, komunikasi publik sejumlah pejabat juga menjadi sorotan. Pernyataan kasar Presiden yang menggunakan kata 'ndasmu' kepada pengkritik, respons Kepala Kantor Kepresidenan terhadap teror kepala babi kepada jurnalis yang tidak empatik, hingga pernyataan Kepala Badan Gizin Nasional tentang gizi pemain sepak bola yang menggelikan, menunjukkan krisis komunikasi dan empati di kalangan pemerintah.

Alih-alih mendengarkan keluhan masyarakat tentang PHK, IHSG yang anjlok, dan harga kebutuhan pokok yang mahal, para pejabat justru mengeluarkan pernyataan yang dangkal dan tidak relevan. Kondisi ini memperburuk citra pemerintah di mata publik.

Momen Nyepi dan Idul Fitri seharusnya menjadi kesempatan bagi semua pihak, terutama para pejabat publik, untuk melakukan introspeksi dan memperbaiki diri. Rakyat berhak mengkritik pemimpinnya yang keliru, karena rakyatlah yang memberikan mandat dan membayar gaji mereka.

Momemtum perayaan Nyepi dan Idul Fitri menjadi pengingat akan pentingnya toleransi, kerukunan, dan introspeksi diri, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Di tengah tantangan dan krisis yang melanda, semangat persatuan dan kesadaran diri menjadi kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik.