Mahasiswa Gugat UU Pemilu: Wacana Domisili Caleg Minimal Lima Tahun di Dapil Menuai Perdebatan

Mahasiswa Gugat UU Pemilu: Persyaratan Domisili Caleg Jadi Sorotan

Sebuah gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang. Gugatan bernomor 7/PUU-XXIII/2025 ini mempersoalkan aturan pencalonan legislatif yang dinilai kurang memperhatikan aspek domisili calon anggota legislatif (caleg). Para mahasiswa menuntut agar UU Pemilu mewajibkan caleg untuk berdomisili minimal lima tahun di daerah pemilihan (dapil) yang mereka wakili. Sidang perdana gugatan ini telah digelar pada Rabu, 5 Maret 2025.

Para penggugat berargumen bahwa persyaratan domisili tersebut krusial untuk memastikan representasi yang efektif. Mereka khawatir, caleg yang tidak memiliki ikatan kuat dengan dapilnya akan kesulitan memahami permasalahan dan kebutuhan masyarakat setempat. Hasil survei yang dilakukan menunjukkan adanya anggota legislatif yang jarang mengunjungi dapilnya setelah terpilih, bahkan hanya satu atau dua kali dalam setahun. Hal ini, menurut mereka, menunjukkan lemahnya representasi dan partisipasi wakil rakyat dalam pembangunan daerah.

Perbedaan Pendapat Mengenai Ketentuan Domisili Caleg

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, memberikan tanggapan terkait gugatan tersebut. Ia menyatakan bahwa persyaratan domisili minimal lima tahun di dapil mungkin tepat diterapkan untuk calon anggota DPRD. Alasannya, DPRD memiliki kewenangan yang lebih spesifik dan lokal, seperti pengawasan anggaran dan pembuatan peraturan daerah (Perda). Namun, Dede Yusuf berpendapat lain terkait penerapan aturan serupa untuk caleg DPR RI. Menurutnya, tugas dan fungsi DPR RI yang lebih luas, meliputi pengawasan pemerintahan pusat dan pembuatan undang-undang nasional, tidak mengharuskan caleg untuk memiliki domisili di dapil tertentu.

Meskipun demikian, Dede Yusuf mengakui pentingnya keterikatan emosional dan pemahaman terhadap akar budaya daerah bagi seorang caleg. Ia menegaskan bahwa 'roots' atau keterikatan dengan dapil tetaplah penting, walau tidak harus diwujudkan dalam bentuk persyaratan domisili yang kaku. Perbedaan pandangan ini mencerminkan kompleksitas isu representasi dan peran wakil rakyat dalam sistem politik Indonesia.

Implikasi Gugatan Terhadap Sistem Politik Indonesia

Gugatan ini telah memicu perdebatan publik mengenai kualitas representasi politik di Indonesia. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: seberapa pentingkah persyaratan domisili bagi seorang caleg untuk menjalankan tugasnya secara efektif? Apakah persyaratan tersebut akan berdampak positif terhadap kualitas legislasi dan pengawasan pemerintahan, atau justru akan membatasi akses politik dan mengurangi keragaman representasi di parlemen?

Mahasiswa penggugat, Ahmad Syarif Hidayatullah dan Arief Nugraha Prasetyo, menekankan keprihatinan mereka terhadap praktik pencalonan legislatif yang cenderung mengutamakan kader partai dari pusat, seringkali mengabaikan potensi kader lokal yang lebih memahami kondisi di dapil. Mereka berharap gugatan ini akan mendorong perbaikan sistem politik dan pemilihan umum di Indonesia, guna memastikan wakil rakyat benar-benar mewakili aspirasi dan kepentingan konstituennya.

Gugatan ini menjadi momentum untuk mengevaluasi aturan pencalonan legislatif dan memperkuat prinsip representasi yang bermakna dalam sistem demokrasi Indonesia. Perdebatan yang muncul akan berkontribusi pada diskusi yang lebih luas mengenai reformasi politik dan peningkatan kualitas demokrasi di Tanah Air.