Menakar Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Bayang-Bayang Resesi Global
Menakar Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Bayang-Bayang Resesi Global
Di tengah hiruk pikuk optimisme pemerintah mengenai prospek ekonomi tahun 2025, realitas yang lebih kompleks mengintai. Perlambatan ekonomi global, ketegangan geopolitik yang meningkat, dan tekanan berkelanjutan pada rupiah akibat kebijakan suku bunga tinggi AS menjadi sinyal yang tak bisa diabaikan. Meskipun Indonesia sering dipuji karena fundamental ekonominya yang relatif kuat, pertanyaan mendasar tetap ada: seberapa tangguhkah kita jika resesi benar-benar menerjang?
Apakah fondasi ekonomi kita benar-benar kokoh, atau hanya lapisan permukaan yang rentan runtuh di bawah tekanan eksternal dan internal? Fakta di lapangan menunjukkan paradoks yang mengkhawatirkan. Data makroekonomi seperti cadangan devisa yang sehat, inflasi yang terkendali, dan stabilitas fiskal memberikan kesan positif. Namun, di sisi lain, tingginya tingkat pengangguran terselubung, kerentanan sektor informal, dan kesenjangan akses terhadap sistem keuangan mengungkap kerentanan struktural yang dalam.
Resiliensi: Antara Data Makro dan Realitas Mikro
Indonesia sering disebut memiliki "fundamental ekonomi yang kuat". Cadangan devisa di atas 130 miliar dolar AS, inflasi yang relatif terkendali, serta rasio utang terhadap PDB yang masih dalam batas aman sering dijadikan tolok ukur. Namun, indikator-indikator tersebut lebih mencerminkan kondisi stabilitas makro ketimbang gambaran menyeluruh tentang kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Sektor konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50% PDB, menunjukkan tanda-tanda stagnasi. Daya beli masyarakat menurun, beban utang rumah tangga meningkat, dan pertumbuhan pendapatan riil jauh tertinggal dari inflasi kebutuhan pokok seperti pangan, pendidikan, dan perumahan. Kondisi ini diperparah oleh dominasi sektor informal dalam struktur tenaga kerja nasional.
Data BPS tahun 2024 mengungkapkan bahwa sekitar 59% angkatan kerja bergantung pada sektor informal—tanpa kepastian pendapatan, perlindungan sosial, atau akses ke layanan ketenagakerjaan formal. Ini menciptakan lapisan masyarakat yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi, terutama jika terjadi penurunan permintaan atau tekanan harga akibat gejolak eksternal. Ketika resesi global menyebabkan penurunan ekspor, depresiasi rupiah, dan tekanan harga domestik, kelompok ini akan menjadi yang pertama terkena dampaknya.
Konsep resiliensi ekonomi menjadi tidak relevan jika tidak menyentuh akar persoalan struktural yang membelenggu kehidupan mayoritas warga negara. Indikator seperti defisit fiskal atau stabilitas nilai tukar penting, tetapi tidak cukup tanpa pemerataan akses terhadap pekerjaan layak, layanan keuangan yang adil, dan jaminan sosial yang komprehensif. Oleh karena itu, resiliensi harus dibaca ulang dengan lensa yang lebih inklusif, berdasarkan realitas mikro yang dihadapi masyarakat sehari-hari.
UMKM, Digitalisasi, dan Ketahanan Ekonomi Rakyat
Pemerintah sering menyebut UMKM sebagai tulang punggung perekonomian, mengingat kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja dan PDB. Namun, ketahanan sektor ini masih kritis. Mayoritas UMKM berjuang dengan keterbatasan pembukuan, rendahnya akses terhadap teknologi dan pembiayaan, serta ketergantungan pada permintaan lokal yang rentan terhadap fluktuasi harga dan daya beli.
Program pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) terus ditingkatkan secara nominal, tetapi distribusinya belum merata, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Banyak UMKM juga menghadapi hambatan legal dan administratif yang menyulitkan mereka mengakses keuangan formal.
Digitalisasi UMKM cenderung simbolik dan tidak menyentuh akar persoalan. Program adopsi digital seperti marketplace dan promosi daring sering dipaksakan tanpa kesiapan pelaku usaha dan infrastruktur pendukung yang memadai. Hal ini menyebabkan banyak UMKM masuk ke ekosistem digital tanpa pemahaman yang cukup, dan pada akhirnya hanya menjadi bagian dari rantai distribusi yang dikendalikan oleh platform besar yang mengambil margin signifikan.
Literasi digital yang rendah memperparah situasi, di mana banyak pelaku usaha tidak mampu memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan pasar secara berkelanjutan. Mengingat peran strategis UMKM, klaim bahwa sektor ini siap menjadi bantalan ekonomi di tengah resesi harus dikaji secara kritis. Tanpa intervensi serius dalam bentuk pembinaan usaha, penyederhanaan regulasi, dan perluasan akses teknologi serta pembiayaan, UMKM justru bisa menjadi titik lemah yang mempercepat transmisi krisis ekonomi.
Fondasi Resiliensi yang Sejati
Resiliensi ekonomi Indonesia tidak dapat hanya dibangun melalui stabilitas indikator makroekonomi seperti inflasi rendah atau nilai tukar yang stabil. Daya tahan ekonomi yang sesungguhnya harus ditopang oleh transformasi struktural yang menyentuh fondasi mikro dan kelembagaan.
Reformasi fiskal yang berbasis produktivitas menjadi keharusan, bukan sekadar memperluas ruang belanja dengan pendekatan populis. Investasi negara seharusnya diarahkan ke sektor-sektor strategis dengan efek pengganda tinggi, seperti pertanian berbasis teknologi, industri padat karya, dan infrastruktur digital yang merata hingga ke pelosok. Ketahanan terhadap krisis global hanya bisa dicapai apabila sektor pangan dan energi nasional dibangun dengan kemandirian dan efisiensi.
Kedua sektor ini terbukti sangat rentan terhadap fluktuasi harga global, konflik geopolitik, dan disrupsi logistik. Ketika krisis terjadi, inflasi pangan dan lonjakan harga energi menjadi penyebab utama tekanan sosial yang meluas. Oleh karena itu, membangun cadangan strategis, memperkuat rantai pasok domestik, dan mendukung inovasi lokal adalah bagian penting dari resiliensi yang berorientasi jangka panjang.
Pembangunan resiliensi ekonomi mensyaratkan sistem perlindungan sosial yang inklusif dan adaptif. Kelompok buruh informal, perempuan kepala keluarga, dan pelaku usaha ultra-mikro harus menjadi prioritas utama. Program jaring pengaman sosial harus dirancang responsif terhadap dinamika krisis dan tidak bersifat seragam. Reformasi kelembagaan harus menyentuh aspek paling krusial: tata kelola fiskal yang transparan, kredibilitas moneter yang konsisten, dan sistem regulasi investasi yang efisien. Tanpa keberanian politik untuk membersihkan institusi dari korupsi dan intervensi politik jangka pendek, seluruh agenda resiliensi akan berakhir sebagai slogan tanpa makna.