Turis Tiongkok Curi Guci Kremasi di Pulau Jeju, Picu Krisis Kepercayaan dan Perburuan Internasional

Turis Tiongkok Curi Guci Kremasi di Pulau Jeju, Picu Krisis Kepercayaan dan Perburuan Internasional

Insiden pencurian guci kremasi dari sebuah kuil di Pulau Jeju, Korea Selatan, yang dilakukan oleh dua turis asal Tiongkok, telah mengguncang sektor pariwisata pulau tersebut dan menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan serta dampaknya terhadap citra internasional. Kejadian yang terungkap pada awal Maret 2025 ini, melibatkan dua turis yang memanfaatkan program bebas visa untuk memasuki Pulau Jeju pada 18 Februari. Mereka diduga melakukan aksi pencurian pada 24 Februari pukul 01.00 dini hari, membobol kolumbarium di sebuah kuil di wilayah timur pulau tersebut.

Setelah berhasil mencuri enam guci kremasi, para pelaku dengan licik mengubur barang bukti curian tersebut di dua lokasi terpisah di gunung terdekat. Aksi mereka semakin mengejutkan dengan ditemukannya upaya pemerasan terhadap keluarga para mendiang yang jasadnya dimakamkan di guci tersebut. Para pelaku mengirimkan ancaman melalui pesan dan menuntut tebusan senilai USD 2 juta atau setara dengan Rp 32 miliar. Beruntung, kecepatan dan profesionalisme Kepolisian Korea Selatan berhasil membuahkan hasil. Dalam waktu tiga hari, dengan mengerahkan tim pencari yang berjumlah 40 orang, seluruh guci kremasi berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada keluarga korban.

Namun, pelakunya berhasil meloloskan diri dari Pulau Jeju. Jejak mereka terlacak hingga Hong Kong, sebelum akhirnya kabur ke Kamboja. Saat ini, otoritas Korea Selatan telah meminta bantuan Interpol untuk melakukan perburuan internasional terhadap kedua turis tersebut. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas program bebas visa yang diberlakukan Pulau Jeju untuk mendongkrak sektor pariwisatanya. Program ini memungkinkan warga negara dari 111 negara, termasuk Tiongkok, untuk masuk tanpa visa selama 30 hari dengan syarat tidak meninggalkan Pulau Jeju.

Pencurian ini bukan hanya sebuah kejahatan biasa, tetapi juga tindakan yang sangat tidak sensitif dan menghina budaya serta kepercayaan masyarakat setempat. Aksi tersebut telah menimbulkan trauma bagi keluarga korban dan merusak citra Pulau Jeju sebagai destinasi wisata yang aman dan ramah. Kejadian ini juga memicu perdebatan mengenai perlunya peninjauan kembali kebijakan bebas visa, terutama terkait mekanisme pengawasan dan pengetatan prosedur keamanan untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang. Pihak berwenang di Korea Selatan kini menghadapi tantangan besar dalam mengembalikan kepercayaan publik dan menjaga reputasi Pulau Jeju di mata dunia internasional. Kasus ini menjadi pengingat penting betapa pentingnya kerjasama internasional dalam penegakan hukum dan perlindungan nilai-nilai budaya.

Langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan:

  • Peninjauan ketat terhadap kebijakan bebas visa, termasuk peningkatan pengawasan dan sistem verifikasi identitas yang lebih efektif.
  • Peningkatan keamanan di situs-situs bersejarah dan keagamaan di Pulau Jeju.
  • Kerjasama internasional yang lebih kuat untuk mencegah dan menindak kejahatan transnasional.
  • Kampanye edukasi publik tentang pentingnya menghormati budaya dan adat istiadat lokal bagi para wisatawan.

Kejadian ini menjadi sorotan penting tentang bagaimana pariwisata yang tidak terkendali dapat berdampak negatif, tidak hanya pada ekonomi, tetapi juga pada aspek sosial dan budaya suatu daerah. Penanganan kasus ini secara cepat dan efisien diharapkan dapat mencegah terulangnya kejadian serupa serta memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Jeju di masa mendatang.