Makna Mendalam Mudik: Tradisi Santri, Refleksi Ustadz, dan Perspektif Sosiologis
Refleksi Mudik: Antara Tradisi, Spiritualitas, dan Ikatan Kekeluargaan
Tradisi mudik, atau pulang kampung, merupakan fenomena sosial yang mengakar kuat di Indonesia, khususnya menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, di balik gegap gempita perjalanan mudik, tersembunyi berbagai perspektif dan makna yang mendalam. Sebuah renungan muncul dari seorang ustadz yang memilih untuk tidak mudik selama bulan Ramadhan, karena khawatir tradisi tersebut dapat merobek kesempurnaan ibadah di bulan suci. Pandangan ini memicu pertanyaan: apakah esensi mudik bertentangan dengan nilai-nilai spiritualitas dan kesempurnaan ibadah?
Mudik: Lebih dari Sekadar Perjalanan Fisik
Mudik bukan sekadar perpindahan fisik dari kota ke desa. Fenomena ini telah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia, bahkan Rasulullah SAW pun merindukan kampung halamannya, Mekah. Dalam konteks Indonesia, mudik mencerminkan pergerakan orang dari pusat-pusat urban ke desa, meskipun ada pula arus sebaliknya. Tradisi ini tidak hanya melibatkan para pekerja, tetapi juga para santri yang kembali ke pesantren setelah libur panjang.
Mudik Santri: Jeda dalam Rihlah Keilmuan
Dunia pesantren memiliki tradisi mudik yang unik. Ratusan bahkan ribuan santri meninggalkan pesantren, menghentikan sementara rutinitas rihlah keilmuan. Bis-bis penuh sesak membawa mereka ke berbagai penjuru tanah air, menciptakan suasana sunyi di lingkungan pesantren. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya tradisi mudik bagi para santri, bahkan terkadang mengalahkan agenda akademik yang telah ditetapkan.
Tuslah dan Empati Mudik
Di beberapa lembaga pendidikan, khususnya di tingkat perguruan tinggi, jadwal perkuliahan seringkali tidak mempertimbangkan kebutuhan mudik para mahasiswa. Hal ini memicu kritik dari mahasiswa yang merasa tidak mendapatkan empati dari pihak kampus. Selain itu, muncul pula istilah "tuslah" (Toeslag), yaitu tambahan biaya transportasi yang dibebankan karena situasi jalanan yang padat selama musim mudik. Meskipun pembangunan jalan tol telah mengurangi dampak geografis, tuslah tetap menjadi beban bagi sebagian pemudik.
Mudik: Perekat Ikatan Kekeluargaan
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mudik merupakan momen penting untuk mempererat tali silaturahmi dengan keluarga besar. Setelah setahun bekerja dan belajar di kota, mudik menjadi kesempatan emas untuk mengisi kembali kekosongan ruhani dan bertemu dengan sanak saudara dari berbagai generasi. Momen ini menjadi ajang pertemuan keragaman profesi dalam satu garis keturunan, sebuah melting pot yang memperkuat ikatan kekeluargaan.
Mudik dalam Perspektif Sosiologis
Dari sudut pandang sosiologis, mudik dipicu oleh perpindahan kaum produktif (pelajar dan pekerja) ke kota-kota besar. Di kota, mereka membentuk kelompok berdasarkan kebutuhan sesaat, seperti pekerjaan dan pendidikan. Namun, kelompok-kelompok ini sulit menjadi organisasi paguyuban yang menyatukan lahir dan batin anggotanya. Oleh karena itu, mudik dianggap sebagai kesempatan untuk mengisi kembali kekosongan ruhani dan memperkuat ikatan kekeluargaan yang mungkin telah renggang akibat jarak dan waktu.
Migrasi: Pilihan dan Penyesuaian
Di era modern, migrasi telah menjadi sebuah kemungkinan, bukan lagi takdir. Perpindahan atau hijrah menjadi hal yang biasa, sebagai bentuk penyesuaian diri dengan lapangan pekerjaan dan peningkatan ekonomi. Pemerintah dan lembaga swasta pun turut membantu masyarakat dengan menyediakan program mudik gratis, meringankan beban biaya transportasi.
Melting Pot Idul Fitri
Melting pot Idul Fitri dapat dianalogikan sebagai pertemuan keragaman profesi dalam satu garis keturunan. Pertemuan ini menjadi ajang untuk saling berbagi pengalaman, mempererat tali persaudaraan, dan memperkuat identitas keluarga. Hanya pandemi dan perang yang dapat menghentikan pergerakan mudik secara massal.
(Bersambung...)
Sumber: Diadaptasi dari tulisan Dr.Hj. Ala'I Nadjib, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU