Tradisi Unik: Pemudik Asal Bekasi Tempuh Ratusan Kilometer dengan Sepeda Menuju Gunungkidul
Sandi Setiawan: Konsistensi dan Semangat Mudik Bersepeda
Mudik, sebuah tradisi tahunan yang lekat dengan perayaan Idul Fitri di Indonesia, seringkali diwarnai dengan cerita-cerita unik dan inspiratif. Salah satunya adalah kisah Sandi Setiawan, seorang pria asal Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, yang memilih cara tak lazim untuk kembali ke kampung halaman istrinya di Jurang Jero, Ngawen, Gunungkidul: mengayuh sepeda.
Sandi memulai perjalanannya dari Cikarang pada Selasa (25/3) petang dan tiba di Ngawen pada Sabtu (29/3/2025) pukul 14.30 WIB. Perjalanan selama empat hari ini bukan hanya sekadar menempuh jarak ratusan kilometer, tetapi juga sebuah pembuktian ketahanan fisik dan semangat yang kuat.
"Untuk perjalanan saya pilih malam hari karena siangnya untuk istirahat, isi ulang aki untuk penerangan sepeda dan mencuci pakaian. Terus kalau yang paling berat saat di Semarang, karena di sana banyak tanjakan ekstrem," ucapnya.
Tradisi yang Lahir dari Hobi
Bagi Sandi, mudik bersepeda bukan sekadar iseng atau mencari sensasi. Ini adalah tradisi yang telah ia lakoni sejak 2016, meskipun sempat terhenti selama tiga tahun. Kecintaannya pada bersepeda menjadi alasan utama di balik pilihan unik ini. "Alasan mudik pakai sepeda karena memang hobinya bersepeda," jelasnya.
Rute yang dipilih Sandi untuk mudik tahun ini adalah jalur pantai utara Jawa (Pantura), melewati kota-kota seperti Cirebon, Pemalang, Semarang, Boyolali, dan Cawas sebelum akhirnya tiba di Ngawen. Jalur Pantura terkenal dengan lalu lintasnya yang padat dan kondisi jalan yang beragam, namun Sandi tetap memilihnya karena berbagai pertimbangan.
Tantangan dan Pengalaman
Perjalanan mudik bersepeda tentu bukan tanpa tantangan. Sandi mengakui bahwa tanjakan ekstrem di Semarang menjadi bagian terberat dari perjalanannya. Namun, ia tidak menyerah dan terus mengayuh sepedanya hingga mencapai tujuan.
"Untuk perjalanan saya pilih malam hari karena siangnya untuk istirahat, isi ulang aki untuk penerangan sepeda dan mencuci pakaian. Terus kalau yang paling berat saat di Semarang, karena di sana banyak tanjakan ekstrem," tambahnya.
Meski demikian, Sandi tetap menikmati setiap momen dalam perjalanannya. Ia memanfaatkan waktu siang untuk beristirahat, mengisi ulang baterai lampu sepeda, dan mencuci pakaian. Ia juga berinteraksi dengan masyarakat setempat dan menikmati kuliner khas daerah yang dilaluinya.
Dukungan Keluarga dan Rencana ke Depan
Keluarga Sandi, termasuk istri dan anaknya, memberikan dukungan penuh terhadap hobinya ini. Mereka telah mudik lebih dulu menggunakan mobil dan akan menjemput Sandi setelah ia tiba di Gunungkidul. Sandi berencana untuk kembali ke Bekasi pada tanggal 5 April dengan menggunakan mobil bersama keluarganya, sementara sepedanya akan dikirim menggunakan jasa pengiriman barang.
Sandi juga mengungkapkan bahwa ia hanya menghabiskan sekitar Rp 400 ribu selama perjalanan mudik bersepeda. Uang tersebut digunakan untuk membeli makan dan minum, dengan porsi terbesar untuk biaya minum karena cuaca panas selama perjalanan.
"Selama perjalanan empat hari empat malam itu saya hanya habis uang sekitar Rp 400 ribu. Rinciannya untuk makan hanya 2 kali sehari karena paling banyak untuk minum," ujarnya.
Untuk tahun depan, Sandi berencana untuk tetap melanjutkan tradisi mudik bersepeda. Baginya, ini bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga sebuah kebiasaan yang telah menjadi bagian dari hidupnya.
Refleksi Mudik Bersepeda
Kisah Sandi Setiawan adalah contoh nyata bagaimana tradisi mudik dapat dilakukan dengan cara yang kreatif dan bermakna. Dengan memilih bersepeda, Sandi tidak hanya membuktikan ketahanan fisiknya, tetapi juga menunjukkan kecintaannya pada lingkungan dan gaya hidup sehat. Kisahnya ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk mencari cara unik dan positif dalam merayakan tradisi mudik.