Perbedaan Penentuan Hari Raya Idul Fitri: Ribuan Jemaah Ponpes Al Karawi Sumenep Salat Ied Lebih Awal
Perayaan Idul Fitri Lebih Awal di Ponpes Al Karawi, Sumenep
Di tengah perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri secara nasional, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Karawi di Desa Ketawang Karay, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menggelar shalat Idul Fitri pada hari Minggu, 30 Maret 2025. Ribuan jemaah, diperkirakan mencapai 2.000 orang, memadati Masjid Al Karawi dan area sekitarnya untuk melaksanakan ibadah. Perbedaan ini menyoroti keragaman tradisi dan metode penentuan awal bulan Qomariah di kalangan umat Islam Indonesia.
Tradisi dan Metode Penentuan yang Berbeda
Pelaksanaan shalat Idul Fitri di Ponpes Al Karawi lebih awal dari ketetapan pemerintah bukan merupakan hal baru. Menurut Kepala Desa Ketawang Karay, Hairuddin, tradisi ini telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Ponpes Al Karawi memiliki metode tersendiri dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, yaitu dengan berpedoman pada kitab kuning atau kitab klasik. Kitab ini menjadi rujukan utama dalam menentukan penanggalan hijriyah dan hari-hari penting dalam kalender Islam.
"Para alumninya tersebar di mana-mana," ungkap Hairuddin, menekankan pengaruh dan jangkauan tradisi keagamaan yang dipegang teguh oleh ponpes. Metode ini, menurut Hairuddin, telah digunakan secara turun-temurun, bahkan jauh sebelum ia dilahirkan. Ia juga mengklaim bahwa penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri untuk tahun-tahun mendatang sudah dapat diprediksi berdasarkan perhitungan dalam kitab tersebut.
Dampak dan Respon Masyarakat
Perbedaan penetapan hari raya ini memengaruhi dinamika sosial di Desa Ketawang Karay. Tidak seluruh warga desa mengikuti pelaksanaan shalat Idul Fitri yang diselenggarakan oleh Ponpes Al Karawi. Hairuddin menjelaskan bahwa dari lima dusun yang ada, hanya tiga dusun (Mandala, Angsana, dan Sobuk) yang mayoritas penduduknya merayakan Idul Fitri pada hari Minggu. Sementara itu, warga di Dusun Korca dan Naga memilih untuk mengikuti ketetapan pemerintah.
Adi, seorang santri Ponpes Al Karawi, menuturkan bahwa antusiasme jemaah untuk mengikuti shalat Idul Fitri sangat tinggi. Jemaah mulai berdatangan sejak adzan Subuh dikumandangkan dan memadati area masjid. "Sejak subuh di dekat rumah sudah rame. Mereka semuanya akan menuju ke masjid. Setiap tahun begitu," ujarnya menggambarkan suasana menjelang pelaksanaan shalat Id.
Penetapan Pemerintah dan Kriteria MABIMS
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama (Kemenag), secara resmi menetapkan 1 Syawal 1446 Hijriah jatuh pada hari Senin, 31 Maret 2025. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil sidang isbat yang dipimpin oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar. Sidang isbat mempertimbangkan laporan rukyatul hilal (pengamatan hilal) dari berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Menag Nasaruddin Umar, data hisab menunjukkan bahwa posisi hilal masih berada di bawah ufuk, dengan ketinggian antara minus 3 derajat 15 menit 47 detik hingga minus 1 derajat 4 menit 57 detik. Dengan demikian, hilal belum memenuhi kriteria visibilitas hilal MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yang mensyaratkan tinggi hilal minimal 3 derajat dan sudut elongasi minimal 6,4 derajat. Karena itu, pemerintah memutuskan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan menjadi 30 hari.
Menghormati Perbedaan
Perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri antara Ponpes Al Karawi dan pemerintah menunjukkan adanya keberagaman dalam metode penentuan awal bulan Qomariah di Indonesia. Perbedaan ini hendaknya disikapi dengan bijak dan saling menghormati. Masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa perbedaan dalam keyakinan dan tradisi adalah bagian dari kekayaan budaya bangsa. Toleransi dan saling pengertian menjadi kunci untuk menjaga kerukunan dan harmoni di tengah perbedaan yang ada.
Pentingnya Dialog dan Musyawarah
Kasus perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri ini juga menggarisbawahi pentingnya dialog dan musyawarah antara berbagai kelompok masyarakat dan pemerintah. Melalui dialog yang konstruktif, diharapkan dapat ditemukan solusi yang mengakomodasi berbagai kepentingan dan pandangan, sehingga tercipta kesepahaman yang lebih baik dalam menentukan penanggalan hijriyah dan hari-hari penting dalam agama Islam.