Aksi Protes Revisi UU TNI Berujung Represi: Negara Gagal Lindungi Hak Warga?

Gelombang demonstrasi menolak revisi Undang-Undang TNI melanda berbagai daerah, diwarnai dengan aksi represif aparat yang menuai kecaman. Alih-alih membuka dialog dan mendengarkan aspirasi, aparat keamanan justru menggunakan kekerasan terhadap para demonstran, jurnalis, tim medis, dan bahkan masyarakat sipil yang tidak terlibat langsung dalam aksi.

Represi Aparat: Pelanggaran HAM yang Sistematis?

Tindakan represif aparat, seperti penggunaan water cannon, gas air mata, dan kekerasan fisik, telah melukai banyak orang. Tak hanya itu, beberapa jurnalis yang bertugas meliput aksi juga menjadi korban kekerasan, dengan kamera dirampas dan rekaman dihapus. Bahkan, tim medis yang seharusnya mendapat perlindungan pun tak luput dari serangan. Seorang pengemudi ojek online (ojol) juga dilaporkan menjadi korban pengeroyokan.

Kekerasan yang dilakukan aparat ini bukan hanya sekadar tindakan individual, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia (HAM). Sebagai duty bearer, negara wajib menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul, sebagaimana diatur dalam berbagai instrumen HAM internasional dan nasional. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa negara justru menjadi pelaku utama pelanggaran HAM.

Instrumen Hukum yang Diabaikan

Pasal 19 dan 21 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), serta Pasal 28E ayat (3) dan 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) secara jelas menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul. Penggunaan kekuatan oleh aparat seharusnya menjunjung tinggi prinsip legalitas, proporsionalitas, nesesitas, dan akuntabilitas.

Namun, dalam banyak kasus, prinsip-prinsip ini diabaikan. Penggunaan water cannon, gas air mata, dan kekerasan fisik seringkali dilakukan secara berlebihan dan tanpa pandang bulu, membahayakan keselamatan demonstran, jurnalis, dan tenaga medis. Alih-alih melindungi warga, negara justru menciptakan ketakutan dan membungkam suara rakyat.

Dampak Jangka Panjang: Erosi Kepercayaan Publik

Jika tindakan represif ini terus dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap negara akan semakin runtuh. Pemerintah akan dianggap sebagai rezim yang alergi terhadap kritik dan hanya mengedepankan stabilitas keamanan semu dengan mengorbankan hak asasi manusia. Impunitas bagi pelaku kekerasan akan semakin subur, dan demokrasi akan terkikis.

Revisi UU TNI yang kontroversial menjadi ujian bagi komitmen negara terhadap demokrasi dan HAM. Jika pemerintah benar-benar peduli terhadap keadilan, maka bukan demonstran yang harus dibungkam, melainkan aparat yang harus dikendalikan. Negara harus segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan kekerasan aparat dan menjamin ruang sipil tetap terbuka.

Menyikapi gelombang protes dengan kekerasan hanya akan mempercepat erosi legitimasi negara. Rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka. Demonstrasi bukan ancaman, melainkan bentuk kepedulian warga terhadap kebijakan publik. Aparat bukan alat kekuasaan untuk menekan kritik, melainkan pelindung hak setiap warga negara.

Demokrasi yang sehat diukur dari seberapa jauh negara mampu menampung aspirasi rakyatnya tanpa rasa takut, bukan dari seberapa keras aparat membungkam kritik.