Aksi Protes Revisi UU TNI Dihadang Represi: Negara Gagal Lindungi Hak Warga?
Gelombang demonstrasi menentang revisi Undang-Undang TNI baru-baru ini menjadi sorotan tajam, bukan hanya karena esensi tuntutan yang disuarakan, tetapi juga karena respon represif yang dihadapi para demonstran. Aksi unjuk rasa yang digelar di berbagai daerah, dari Malang hingga Jakarta, diwarnai dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, memicu kecaman luas dari masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia.
Ironisnya, di tengah semangat demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi, aparat justru menggunakan kekuatan berlebihan terhadap massa aksi yang notabene menyampaikan aspirasi mereka secara damai. Laporan di lapangan menunjukkan penggunaan water cannon, gas air mata, dan pentungan secara membabi buta, tidak hanya melukai fisik para demonstran tetapi juga mencederai hak mereka untuk menyampaikan pendapat.
Kekerasan Tanpa Pandang Bulu
Tindakan represif ini tidak hanya menyasar para demonstran. Jurnalis yang bertugas meliput aksi unjuk rasa juga menjadi korban kekerasan. Kamera dirampas, rekaman dihapus, dan intimidasi fisik dialami oleh sejumlah jurnalis yang berusaha mengabadikan momen penting ini. Lebih memprihatinkan lagi, tim medis yang seharusnya mendapatkan perlindungan karena tugas kemanusiaan mereka, justru menjadi sasaran amuk aparat. Peralatan medis dirampas, tenaga medis dipukuli, dan ancaman verbal dilontarkan tanpa rasa hormat.
Bahkan, seorang pengemudi ojek online (ojol) yang kebetulan melintas di lokasi demonstrasi juga menjadi korban pengeroyokan. Video yang beredar luas di media sosial menjadi bukti nyata betapa brutalnya tindakan aparat dalam menghadapi demonstrasi ini.
Negara Abai Terhadap Kewajiban HAM
Tindakan represif aparat keamanan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak warganya untuk menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai. Kewajiban ini tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional dan nasional, termasuk:
- Pasal 19 dan 21 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
- Pasal 28E ayat (3) dan 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Sayangnya, implementasi di lapangan justru bertolak belakang dengan semangat yang terkandung dalam instrumen-instrumen tersebut. Alih-alih melindungi warga negara, aparat keamanan justru menggunakan kekerasan untuk membungkam suara kritik dan menciptakan ketakutan di tengah masyarakat.
Prinsip Penggunaan Kekuatan yang Dilanggar
Penggunaan kekuatan oleh aparat keamanan dalam penanganan demonstrasi seharusnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip legalitas, proporsionalitas, nesesitas, dan akuntabilitas. Artinya, penggunaan kekuatan harus didasarkan pada hukum yang jelas, sepadan dengan ancaman yang dihadapi, diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Namun, dalam kasus demonstrasi menentang revisi UU TNI ini, prinsip-prinsip tersebut tampaknya diabaikan. Penggunaan water cannon, gas air mata, dan kekerasan fisik dilakukan secara serampangan tanpa memperhitungkan keselamatan para demonstran, jurnalis, dan tenaga medis.
Implikasi Bagi Demokrasi dan Kepercayaan Publik
Tindakan represif aparat keamanan ini memiliki implikasi serius bagi demokrasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Jika negara terus membiarkan tindakan kekerasan terhadap warga negara yang menyampaikan pendapat, maka demokrasi akan terkikis dan impunitas akan semakin subur.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah juga akan runtuh jika aparat keamanan terus bertindak brutal dan tidak menghormati hak asasi manusia. Pemerintah akan dianggap sebagai rezim yang otoriter dan alergi terhadap suara rakyat.
Tuntutan dan Rekomendasi
Melihat situasi yang memprihatinkan ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan aktivis HAM mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas. Beberapa tuntutan dan rekomendasi yang diajukan antara lain:
- Mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap demonstran, jurnalis, dan tenaga medis.
- Mengevaluasi kebijakan dan prosedur penanganan demonstrasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
- Memberikan jaminan bahwa ruang sipil tetap terbuka dan bebas dari intimidasi dan represi.
- Menghentikan penggunaan kekuatan berlebihan dalam penanganan demonstrasi.
Negara yang demokratis seharusnya tidak menganggap rakyat sebagai musuh. Demonstrasi adalah bagian dari proses demokrasi dan merupakan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dan mengkritik kebijakan pemerintah. Aparat keamanan seharusnya bertindak sebagai pelindung hak setiap warga negara, bukan sebagai alat kekuasaan untuk menekan kritik.
Jika pemerintah benar-benar peduli terhadap demokrasi, maka biarkan suara publik bergema, bukan dipukul dan dibungkam. Jika represi terus dibiarkan, maka kepercayaan publik akan semakin runtuh, dan pemerintah hanya akan dikenal sebagai rezim yang alergi terhadap suara rakyat.