Emin: Generasi Penerus Tradisi Pijat di Rest Area Palikanci, Berkah Musiman di Tengah Arus Mudik

Tradisi Pijat Keluarga di Rest Area Palikanci: Kisah Emin dan Asa di Tengah Arus Mudik

Di tengah hiruk pikuk rest area kilometer 207 Palikanci saat musim mudik Lebaran, sosok Emin hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari pemandangan tersebut. Lebih dari sekadar tempat istirahat bagi para pemudik, rest area ini menjadi saksi bisu perjalanan hidup Emin, seorang tukang pijat yang mewarisi tradisi keluarga.

Dengan tikar sederhana, bantal usang, dan peralatan pijat seadanya, Emin telah mengabdikan diri sebagai tukang pijat di rest area ini selama lebih dari dua dekade. Di usianya yang kini menginjak 35 tahun, ia sudah hafal betul seluk-beluk kehidupan di rest area. Sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Emin telah menemani orang tuanya bekerja sebagai tukang pijat, sebuah profesi yang telah menjadi warisan turun temurun dalam keluarganya.

"Dari SMP sudah mulai ikut orang tua memijat. Orang tua saya sudah puluhan tahun jadi tukang pijat. Katanya, teruskan saja usaha pijat di Palikanci. Saya belajar dari buyut yang juga tukang pijat," ungkap Emin dengan nada bicara yang khas.

Emin mengenang masa lalu ketika area pijat masih berada di bagian bawah rest area. Namun, beberapa tahun lalu, lokasi pijat dipindahkan ke lantai 2. Perpindahan ini membawa dampak signifikan terhadap pendapatan Emin. Dulu, ketika masih berada di bawah, ia bisa melayani hingga 10 pelanggan dalam sehari. Namun, kini, di lokasi baru, ia hanya mampu mendapatkan maksimal 5 pelanggan. Bahkan, tak jarang, di hari-hari biasa, ia tidak mendapatkan pelanggan sama sekali.

"Dulu ramai sekali, tukang pijat bisa sampai 50 orang. Sekarang berkurang jadi 30 orang, banyak yang berhenti. Paling ramai itu hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Biasanya yang datang sopir travel dan mobil pribadi yang pegal-pegal. Dulu juga belum ada tol Cipali, jadi di sini lebih ramai," jelas Emin.

Ia menambahkan bahwa tarif pijat full body adalah Rp 100.000. Namun, tidak setiap hari ia mendapatkan pelanggan. "Kadang sehari tidak dapat orderan sama sekali. Tidak seperti dulu ketika masih di bawah. Kalau sekarang, yang mampir hanya pelanggan yang sudah langganan saja. Kalau mau dapat pelanggan baru, kami harus menawarkan dulu ke bawah, lalu mengajak mereka ke atas. Prosesnya susah," keluhnya.

Emin berharap, saat arus mudik dan arus balik Lebaran 2025, ia dapat kembali mendapatkan banyak orderan pijat seperti dulu. Momen Lebaran menjadi berkah tersendiri bagi Emin dan keluarganya.

"Sebelum Lebaran biasanya sepi. Paling ramai pas mau Lebaran, bisa 4-5 orang. Biasanya 3 hari sebelum Lebaran. Di sini kan 24 jam, jadi ada yang datangnya sore. Lumayan pendapatannya bisa buat beli baju Lebaran," tuturnya.

Meski pendapatannya tidak menentu, Emin tetap setia menjadi tukang pijat di rest area Palikanci, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Amanah dari orang tua menjadi motivasi utamanya untuk terus bertahan.

"Ada amanah dari orang tua. Ditambah, dari dulu saya usahanya di sini. Alhamdulillah, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, buat biaya sekolah anak. Anak saya dua, masih SMP," pungkas Emin dengan senyum tulus.

Kisah Emin adalah potret kecil dari kehidupan para pekerja sektor informal yang menggantungkan hidupnya di rest area. Di tengah modernisasi dan perubahan zaman, mereka tetap berusaha mempertahankan tradisi dan mencari nafkah demi keluarga tercinta. Kisah Emin menjadi pengingat bahwa di balik setiap perjalanan mudik, terdapat cerita-cerita perjuangan dan harapan yang patut untuk disimak.