Tradisi Mudik: Perjuangan Rindu Budiarto dari Bali ke Malang

Mengukir Rindu di Jalanan: Perjalanan Mudik Budiarto dari Bali ke Malang

Bagi Budiarto, seorang pekerja konstruksi yang telah lama merantau di Bali, mudik bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah kewajiban sakral. Setiap tahun, ia rela menempuh ratusan kilometer demi merajut kembali kehangatan keluarga di kampung halamannya, Malang. Perjalanan ini bukan tanpa tantangan, namun kerinduan yang membuncah menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkahnya.

"Setahun sekali, wajib pulang. Tidak ada yang lebih penting dari bertemu keluarga," ungkap Budiarto dengan nada mantap. Baginya, momen mudik adalah jembatan penghubung antara dirinya dengan orang-orang terkasih, terutama sang ibu yang selalu menanti kepulangannya. Tahun ini, ia memutuskan untuk mudik lebih awal, menghindari potensi kepadatan di pelabuhan menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Perjalanan dimulai dari Denpasar, Bali, dengan menggunakan sepeda motor bersama rombongan teman-teman seperantauan. Sensasi perjalanan berkelompok memberikan semangat dan mengurangi rasa lelah di jalan. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, mereka tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Antrean panjang kendaraan sudah mengular, menjadi pertanda dimulainya perjuangan sesungguhnya.

"Macetnya baru terasa di sini, setelah menyeberang sulit masuk," keluhnya. Penataan sepeda motor yang kurang baik di atas kapal juga menjadi salah satu pengalaman kurang menyenangkan. "Pernah saya marah ke petugas. Motor ditata kaya kayu, lecet-lecet semua," imbuhnya.

Setelah menyeberang, perjalanan darat menuju Malang masih membentang luas. Budiarto memilih untuk berangkat tengah malam agar tiba di Banyuwangi saat subuh. Pertimbangan keamanan menjadi prioritas utama, mengingat daerah Pasuruan yang dikenal rawan begal pada malam hari. Selain itu, kondisi jalan yang kurang memadai, terutama di daerah Situbondo yang penuh tambalan, menambah tantangan dalam perjalanan.

"Jalanannya rata tapi tambalan semua, motor serasa jalan di batu-batu," ujarnya menggambarkan kondisi jalan yang kurang bersahabat.

Meski demikian, Budiarto tetap menikmati setiap momen dalam perjalanan. Ia hanya membawa sedikit barang, mengingat waktu liburnya yang terbatas. Tiba di Malang, ia hanya memiliki waktu sekitar lima hari untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga sebelum kembali ke Bali.

Kenangan pahit saat pertama kali merantau di Bali masih terngiang jelas di benaknya. Sebagai karyawan baru, ia tidak diizinkan pulang sebelum setahun bekerja. Momen Idul Fitri yang seharusnya dirayakan bersama keluarga terpaksa dilewatkan seorang diri. Panggilan video dengan sang ibu yang diwarnai isak tangis menjadi bukti betapa besar kerinduan yang ia rasakan.

"Waktu itu, semua keluarga sudah kumpul, cuma saya yang nggak bisa pulang. Pas video call sama ibu, beliau nangis. Saya juga ikut nangis," kenangnya dengan nada haru.

Kini, Budiarto menyadari bahwa mudik bukan hanya sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah ritual yang tak bisa digantikan. Rumah baginya bukan hanya sebuah tempat, tetapi juga kehangatan dan cinta dari orang-orang terkasih yang selalu menanti kepulangannya. Perjuangan di jalanan hanyalah sebagian kecil dari pengorbanan untuk merajut kembali ikatan keluarga yang sempat terpisah jarak dan waktu.

Tantangan dan Kebahagiaan dalam Perjalanan Mudik

Perjalanan mudik Budiarto tidak hanya diwarnai dengan rindu dan kebahagiaan, tetapi juga berbagai tantangan. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika ia harus menembus hujan deras dalam perjalanan menuju pelabuhan di Jembrana. Baju basah kuyup hingga kering sendiri karena harus mengantre selama berjam-jam untuk menaiki kapal.

Selain itu, Budiarto juga selalu memperhatikan kondisi jalan yang akan dilalui. Ia berusaha menghindari jalur-jalur yang rawan begal atau memiliki kondisi jalan yang buruk. Persiapan fisik dan mental menjadi kunci utama agar perjalanan mudik dapat berjalan lancar dan aman.

Namun, di balik semua tantangan tersebut, ada kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Momen-momen kebersamaan dengan keluarga di kampung halaman menjadi pengobat rindu yang paling ampuh. Canda tawa, obrolan hangat, dan hidangan khas Lebaran menjadi kenangan indah yang akan selalu ia bawa dalam setiap langkahnya.

Bagi Budiarto, mudik adalah investasi kebahagiaan. Ia rela berkorban waktu, tenaga, dan biaya demi mewujudkan impian untuk berkumpul dengan keluarga tercinta. Karena baginya, keluarga adalah harta yang paling berharga dan tak tergantikan.

Pesan dari Perantau: Jangan Lupakan Keluarga

Kisah mudik Budiarto adalah cerminan dari perjuangan jutaan perantau di seluruh Indonesia. Mereka rela meninggalkan kampung halaman demi mencari nafkah di negeri orang. Namun, di balik kesuksesan dan kemandirian, tersimpan kerinduan yang mendalam terhadap keluarga dan kampung halaman.

Budiarto berpesan kepada seluruh perantau untuk tidak melupakan keluarga. Sesibuk apa pun pekerjaan, luangkanlah waktu untuk menghubungi dan mengunjungi keluarga. Karena kebahagiaan sejati terletak pada kebersamaan dengan orang-orang terkasih. Mudik adalah salah satu cara untuk merawat ikatan keluarga dan menghidupkan kembali kenangan indah di masa lalu.