Maxim Usulkan Revisi UU LLAJ untuk Atur Kemitraan dan Tarif Transportasi Online
Maxim Dorong Revisi UU LLAJ untuk Atur Status Kemitraan dan Tarif Ojol
PT Teknologi Perdana Indonesia (Maxim Indonesia) mendesak revisi Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) untuk memberikan kepastian hukum bagi pengemudi transportasi online dan menciptakan keseragaman tarif layanan. Hal ini disampaikan oleh Head of Legal Department Maxim Indonesia, Dwi Putra Tama, dalam rapat dengar pendapat umum (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada Rabu (5/3/2025).
Dwi Putra Tama mengungkapkan kekhawatiran atas ketidakjelasan status hukum kemitraan antara pengemudi dan aplikator transportasi online. Saat ini, hubungan tersebut belum terdefinisi secara jelas dalam regulasi yang berlaku, sehingga menimbulkan keraguan hukum. “Kemitraan ini, menurut kami, perlu dijelaskan secara rinci dan diatur dalam RUU LLAJ untuk memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat,” tegasnya dalam RDP tersebut.
Ia menjelaskan bahwa hubungan kemitraan antara pengemudi dan aplikator berbeda dengan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Oleh karena itu, Maxim Indonesia mendorong agar RUU LLAJ secara eksplisit mendefinisikan dan mengatur status kemitraan ini, menetapkan batasan dan hak-hak masing-masing pihak, serta melindungi kepentingan pengemudi sebagai mitra. Menurutnya, kejelasan regulasi ini sangat krusial untuk menciptakan iklim usaha yang adil dan transparan.
Selain masalah status kemitraan, Maxim juga menyoroti disparitas regulasi tarif transportasi online, khususnya untuk angkutan roda empat atau angkutan sewa khusus. Dwi mencatat setidaknya sembilan provinsi telah menerbitkan peraturan daerah yang berbeda-beda terkait biaya operasional kendaraan dan tarif layanan. Kondisi ini, menurutnya, menciptakan ketidakpastian hukum dan kesenjangan tarif antar daerah yang merugikan baik pengemudi maupun aplikator.
“Ketidakseragaman ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan berpotensi merugikan pengemudi di daerah dengan regulasi yang kurang menguntungkan,” ujar Dwi. Untuk mengatasi masalah ini, Maxim mengusulkan agar regulasi tarif layanan transportasi online disentralisasi dan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta keseragaman tarif dan mencegah disparitas antar daerah, menciptakan iklim usaha yang lebih adil dan transparan bagi seluruh pelaku usaha transportasi online.
Lebih lanjut, Dwi juga menyoroti pengawasan operasional perusahaan transportasi online yang saat ini berada di bawah tiga kementerian berbeda, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Ketenagakerjaan. Kondisi ini, menurutnya, menunjukkan perlunya evaluasi dan penyederhanaan regulasi untuk menghindari tumpang tindih dan inefisiensi. Maxim Indonesia menekankan pentingnya koordinasi antar kementerian dan perumusan regulasi yang komprehensif dan terintegrasi.
Kesimpulannya, Maxim Indonesia berharap revisi UU LLAJ tidak hanya mengatur aspek lalu lintas dan angkutan jalan secara umum, tetapi juga secara spesifik mengatur status kemitraan antara pengemudi dan aplikator transportasi online serta menetapkan regulasi tarif yang seragam dan adil di seluruh Indonesia. Hal ini dianggap penting untuk menciptakan ekosistem transportasi online yang sehat, berkelanjutan, dan memberikan perlindungan hukum bagi seluruh pemangku kepentingan.