Harmoni dalam Perbedaan: Jemaah Aboge Probolinggo Rayakan Idul Fitri 1446 H pada 1 April 2025
Jemaah Aboge Probolinggo Gelar Salat Idul Fitri di Tengah Semangat Toleransi
Probolinggo, Jawa Timur - Di tengah gegap gempita persiapan Hari Raya Idul Fitri yang ditetapkan pemerintah, sebuah komunitas unik di Probolinggo, Jawa Timur, merayakan momen kemenangan dengan cara yang berbeda. Jemaah Alif Rabo Wage (Aboge), sebuah kelompok yang memegang teguh perhitungan kalender tradisional Jawa, menggelar salat Idul Fitri 1446 Hijriyah pada hari Selasa, 1 April 2025.
Perbedaan penentuan tanggal Idul Fitri ini didasarkan pada kitab Mujarobat, sebuah pedoman kuno yang menjadi landasan perhitungan kalender Aboge. Menurut kitab tersebut, jatuhnya 1 Syawal 1446 H dihitung berdasarkan siklus Waljiro (Syawal Siji-Loro), yang mengindikasikan hari Selasa Pon sebagai hari pertama Syawal.
Harmoni dalam Perbedaan, Tradisi yang Lestari
Meski berbeda dalam penentuan tanggal, jemaah Aboge di Dusun Krajan, Desa Leces, Probolinggo, telah hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat Muslim lainnya selama puluhan tahun. Semangat toleransi dan saling menghormati menjadi fondasi utama dalam kehidupan bermasyarakat mereka.
Salah satu tradisi unik yang mereka lestarikan adalah membawa makanan dan tumpeng saat melaksanakan salat Id. Usai salat, hidangan khas Lebaran seperti opor ayam, masakan bumbu merah, dan ketupat dinikmati bersama-sama, mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan. Tradisi ini mencerminkan bahwa perbedaan dalam penentuan waktu tidak menghalangi esensi perayaan Idul Fitri, yaitu berbagi kebahagiaan dan mempererat persaudaraan.
"Sudah puluhan tahun, bahkan kemungkinan dari leluhur, di Dusun Krajan, Desa Leces ini, antara jemaah Aboge dengan ormas keagamaan lainnya hidup rukun dan saling menghormati," ungkap Solihin, salah seorang anggota jemaah Aboge. Ia menambahkan bahwa menu makanan Lebaran dan kebiasaan lainnya antara jemaah Aboge dan umat Islam lainnya tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya terletak pada penentuan tanggal hari-hari besar keagamaan.
Kebersamaan dalam Keberagaman
Suminah (59), anggota jemaah Aboge lainnya, menuturkan bahwa penganut Islam Aboge hidup berbaur dengan tetangga dan keluarga yang mengikuti ormas keagamaan lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mereka bahkan sering bertakbir bersama, meskipun berbeda tanggal Lebaran. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tidak menjadi penghalang untuk menjalin kebersamaan dan mempererat hubungan sosial.
"Hidup rukun jemaah Aboge berbaur dengan tetangga dan keluarga yang ikut NU dan Muhammadiyah, saat takbir kita selalu bergantian meramaikan kumandang takbir di masjid dan musala, bahkan ada undangan pengajian kita selalu hadir dan sebaliknya tetangga lainnya kalau diundang pengajian oleh jamaah Aboge ya mereka datang, pokok saling menghornati dan tentram," jelas Suminah.
Perhitungan Kitab Mujarobat dan Permohonan Maaf
Kiai Buri Bariyah, tokoh agama jemaah Aboge, menjelaskan bahwa perhitungan tanggal hari raya Idul Fitri dan Idul Adha didasarkan pada kitab Mujarobat. Ia juga menegaskan bahwa seluruh ibadah, seperti salat, rakaat, dan doa, tidak ada perbedaan dengan umat Islam lainnya. Perbedaan hanya terletak pada hitungan penetapan hari keagamaan.
Kiai Buri Bariyah juga menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam lainnya, khususnya NU dan Muhammadiyah, karena selalu berbeda dalam merayakan Idul Fitri. Ia menjelaskan bahwa perhitungan ini telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang. Jemaah Aboge, ditegaskan Kiai Bariyah, selalu berpuasa genap 30 hari.
"Semua di seluruh Indonesia jemaah Aboge, punya hitungan sendiri dengan pedoman kitab Mujarobat. Jadi penetapan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha selalu berbeda dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kadang kita belakangan, kadang mendahului lebarannya, dan kami meminta maaf ke pemerintah dan ormas keagamaan lainnya, jika selalu berbeda, karena kita sudah turun temurun menghitung dengan penerapan Jawa, dan jemaah Aboge puasa selalu genap 30 hari," kata Kiai Bariyah.
Harapan di Hari Raya
Menutup penjelasannya, Kiai Bariyah menyampaikan harapan agar jemaah Aboge selalu diberi keselamatan dan dijauhkan dari cobaan oleh Allah SWT, sehingga dapat bertemu kembali di bulan Ramadan tahun berikutnya.
Jemaah Aboge di Probolinggo menjadi contoh nyata bagaimana perbedaan dalam keyakinan dan tradisi dapat hidup berdampingan secara harmonis. Semangat toleransi, saling menghormati, dan menjunjung tinggi kebersamaan menjadi kunci terciptanya kerukunan antarumat beragama di tengah keberagaman. Perayaan Idul Fitri 1446 H bagi jemaah Aboge bukan hanya sekadar momen keagamaan, tetapi juga momentum untuk mempererat tali persaudaraan dan memperkuat nilai-nilai luhur budaya bangsa.
"Harapan jemaah Aboge, semoga diberi keselamatan dan dijauhkan dari cobaan oleh Allah SWT, agar kita bisa ketemu lagi di bulan Ramadan tahun berikutnya, Amin YRA," tandas Kiai Bariyah.