Refleksi Idul Fitri: Memperkuat Solidaritas Kebangsaan untuk Kemakmuran Berkelanjutan
Refleksi Idul Fitri: Memperkuat Solidaritas Kebangsaan untuk Kemakmuran Berkelanjutan
Setelah sebulan penuh berpuasa, menahan diri, dan membersihkan jiwa, Idul Fitri menjadi momen penting untuk merefleksikan perjalanan spiritual dan menata langkah ke depan. Lebih dari sekadar perayaan, Idul Fitri adalah momentum untuk memperkuat kembali nilai-nilai solidaritas kebangsaan (asabiyyah) yang menjadi fondasi kemajuan bangsa.
Ramadhan telah mengajarkan kita untuk merasakan kesulitan orang lain, mengendalikan diri, dan mengasah kepekaan sosial. Puasa bukan hanya ritual fisik, tetapi juga latihan untuk menumbuhkan empati dan solidaritas. Semangat kebersamaan ini harus terus dipelihara dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi energi kolektif untuk membangun bangsa yang lebih kuat dan sejahtera.
Belajar dari Sejarah: Saba' dan Bahaya Kemewahan
Sejarah peradaban memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga solidaritas. Negeri Saba', yang diceritakan dalam Al-Qur'an, adalah contoh nyata bagaimana kemakmuran tanpa moralitas dan solidaritas dapat membawa kehancuran. Negeri yang kaya raya dengan sumber daya alam melimpah itu hancur karena penduduknya terlena dengan kemewahan, melupakan rasa syukur, dan mengabaikan nilai-nilai kebersamaan.
Kisah Saba' mengingatkan kita akan "kutukan sumber daya alam" (resource curse), di mana keberlimpahan sumber daya justru menjadi bencana karena memicu ketamakan, korupsi, dan hilangnya daya juang. Kemewahan membuat penduduk Saba' lupa diri dan mengabaikan tanggung jawab sosial. Inilah fase kemunduran yang diidentifikasi oleh Ibnu Khaldun, di mana kemalasan, kerakusan, dan individualisme mengikis fondasi peradaban.
Arnold J. Toynbee, seorang sejarawan, juga menyoroti pola serupa dalam berbagai peradaban. Menurutnya, kemunduran suatu peradaban seringkali disebabkan oleh dekadensi internal, seperti hilangnya etos kerja, penyimpangan moral, dan ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan zaman. Saba' menjadi contoh suicidal state, di mana peradaban menghancurkan dirinya sendiri karena kehilangan solidaritas sosial dan nilai-nilai kebersamaan.
Indonesia: Lebih dari Saba'
Indonesia diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah, bahkan melebihi negeri Saba'. Hutan tropis yang luas, gunung-gunung yang menyimpan mineral berharga, dan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi adalah anugerah yang harus dijaga dan dikelola dengan bijak. Namun, kekayaan ini juga membawa tantangan.
Pembalakan liar, kebakaran hutan, alih fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali mengancam kelestarian lingkungan. Seperti Saba', Indonesia juga berpotensi mengalami "kutukan sumber daya alam" jika tidak mampu menjaga keseimbangan antara kemakmuran dan keberlanjutan. Kerusakan ekosistem yang semakin parah menjadi sinyal peringatan yang tidak boleh diabaikan.
Membangun Kemakmuran Berkelanjutan dengan Solidaritas
Kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejarah mengajarkan bahwa pemimpin yang bijak bukan hanya mampu mengelola kekayaan, tetapi juga mampu menjaga harmoni sosial dan solidaritas rakyatnya.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI telah menginisiasi jihad konstitusional melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Perubahan Iklim dan RUU Masyarakat Hukum Adat. Kedua regulasi ini diharapkan menjadi benteng bagi sumber daya alam Indonesia agar dikelola untuk kepentingan bersama.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menyadari potensi besar Indonesia dan bertekad mewujudkan visi negara yang Baldatun Thayyibatun Warobbun Ghofur, negara yang makmur dan diberkahi. Visi ini diterjemahkan dalam kebijakan konkret yang bertujuan mengentaskan kemiskinan, mempersempit jurang ketimpangan ekonomi, dan memastikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selama ini, kekayaan alam Indonesia seringkali menjadi sumber ketimpangan. Sebagian kecil kelompok menikmati keuntungan besar dari eksploitasi sumber daya alam, sementara sebagian besar rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintahan Prabowo menerapkan strategi kemakmuran yang berkeadilan, yaitu membangun Indonesia berdaulat secara ekonomi, sejahtera secara sosial, dan kokoh dalam solidaritas kebangsaan.
Reformasi fiskal dan redistribusi sumber daya menjadi pilar utama dalam strategi ini. Efisiensi anggaran dan pengalokasian dana yang tepat sasaran, seperti program makan bergizi gratis, adalah wujud konkret dari reformasi fiskal. Sementara itu, pendistribusian izin usaha pertambangan kepada organisasi kemasyarakatan dan entitas sosial, serta program Koperasi Merah Putih, adalah langkah-langkah redistribusi sumber daya yang bertujuan memberdayakan masyarakat lokal.
Kombinasi antara reformasi fiskal dan redistribusi sumber daya diharapkan dapat menciptakan perekonomian yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Lebih dari sekadar angka dan statistik, kebijakan ini bertujuan membangun kembali solidaritas kebangsaan. Ketika rakyat merasakan bahwa negara berpihak kepada mereka, rasa cinta terhadap bangsa akan semakin kuat, dan asabiyyah yang menjadi pilar utama peradaban akan semakin kokoh.
Dengan fondasi ekonomi yang lebih adil dan sistem sosial yang lebih solid, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan sebagai negeri yang benar-benar makmur dan berkeadaban. Idul Fitri menjadi momentum untuk memperkuat tekad dan semangat kita dalam mewujudkan visi tersebut.
Strategi Kemakmuran
Pemerintahan Prabowo telah menabuh strategi kemakmuran yang berkeadilan, yaitu membangun Indonesia berdaulat secara ekonomi, sejahtera secara sosial, dan kokoh dalam solidaritas kebangsaan.
Kesadaran akan pentingnya distribusi kekayaan yang lebih adil mendorong lahirnya kebijakan strategis yang menitikberatkan pada reformasi fiskal dan redistribusi sumber daya.
Kedua langkah ini tidak hanya merupakan solusi teknokratis dalam pengelolaan ekonomi, tetapi juga merupakan manifestasi dari gagasan besar tentang keadilan sosial yang menjadi pondasi utama dalam membangun bangsa yang kuat dan mandiri.
Reformasi kebijakan fiskal yang dijalankan oleh Presiden Prabowo bertumpu pada efisiensi anggaran sebagai pilar utama pembangunan inklusif.
Selama ini, belanja negara kerap tersedot ke dalam birokrasi yang gemuk, program-program tumpang tindih, serta pengeluaran yang tidak selalu berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, setiap rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini diarahkan dengan strategi lebih tepat guna agar menghasilkan manfaat maksimal bagi masyarakat luas.
Salah satu wujud konkret dari kebijakan ini adalah program makan bergizi gratis, langkah revolusioner yang bertujuan memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan akses gizi memadai.
MBG bukan sekadar bentuk intervensi sosial jangka pendek, tetapi investasi besar bagi masa depan bangsa, karena kualitas gizi pada anak-anak terbukti berpengaruh langsung terhadap kecerdasan, produktivitas, dan daya saing mereka di masa depan.
Efisiensi anggaran untuk menopang program ini dilakukan dengan memotong belanja yang tidak produktif, mengoptimalkan penerimaan negara melalui perbaikan sistem perpajakan, serta meningkatkan akuntabilitas penggunaan dana publik.
Dengan pendekatan ini, setiap pengeluaran diarahkan untuk bermanfaat bagi rakyat, bukan sekadar menggerakkan roda birokrasi.
Prinsip pembangunan berbasis keadilan ditekankan, di mana negara hadir sebagai pihak yang menjamin bahwa setiap anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dengan sehat dan cerdas.
Namun efisiensi anggaran saja tidak cukup jika struktur ekonomi masih tetap dikuasai oleh segelintir elite yang menikmati keuntungan besar dari kekayaan alam bangsa.
Maka Presiden Prabowo mendorong kebijakan redistribusi sumber daya dengan cara yang lebih progresif.
Salah satunya melalui pendistribusian izin usaha pertambangan kepada organisasi kemasyarakatan dan entitas sosial yang berkontribusi bagi pembangunan nasional.
Demikian juga program terbaru Koperasi Merah Putih, diarahkan untuk menopang pilar distribusi ekonomi.
Langkah ini merupakan koreksi terhadap ketimpangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, di mana sektor pertambangan dan ekonomi lebih banyak dikuasai oleh korporasi besar, sementara masyarakat sekitar hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.
Dengan mengalihkan izin pengelolaan sumber daya alam kepada koperasi dan organisasi berbasis komunitas, pemerintah memastikan bahwa hasil kekayaan negara benar-benar kembali kepada rakyat.
Kebijakan redistribusi ini tidak hanya sebatas mengeser kepemilikan, tetapi juga mencerminkan tekad untuk memberdayakan masyarakat lokal agar memiliki kendali yang lebih besar terhadap sumber daya di wilayah mereka.
Dengan demikian, sumber daya alam tidak lagi menjadi alat eksploitasi segelintir kelompok, melainkan menjadi instrumen pemerataan kesejahteraan.
Kombinasi antara reformasi fiskal dan redistribusi sumber daya menopang arsitektur kebijakan strategis yang saling melengkapi dalam agenda pembangunan Prabowo Subianto.
Ketika anggaran negara dikelola dengan lebih efisien dan kekayaan alam didistribusikan secara lebih merata, hasilnya adalah perekonomian yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan meningkat.
Pada akhirnya, kebijakan ini bukan hanya soal angka dan statistik, tetapi juga tentang membangun kembali solidaritas kebangsaan.
Ketika rakyat merasakan bahwa negara benar-benar berpihak kepada mereka, rasa cinta terhadap bangsa ini akan semakin kuat, dan asabiyyah yang menjadi pilar utama dalam teori peradaban Ibnu Khaldun, akan semakin kokoh.
Dengan fondasi ekonomi yang lebih adil dan sistem sosial lebih solid, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan sebagai negeri yang benar-benar makmur dan berkeadaban.