Bayang-Bayang Krisis Ekonomi dan Gejolak Sosial: Resah Pasca-Lebaran
Kegelisahan Pasca-Lebaran: Antara Krisis Ekonomi dan Potensi Gejolak Sosial
Euforia mudik Lebaran tahun ini tampaknya diiringi dengan sejumlah kekhawatiran yang membayangi. Bukan hanya penulis, namun mungkin sebagian besar masyarakat merasakan hal serupa. Serangkaian peristiwa dan isu yang muncul belakangan ini memicu ingatan kolektif akan masa-masa sulit krisis ekonomi 1998.
Sejak memasuki bulan Ramadhan, berbagai aksi unjuk rasa menolak revisi UU TNI oleh mahasiswa dan elemen masyarakat sipil mewarnai berbagai kota. Aksi-aksi ini, yang bahkan diwarnai bentrokan dengan aparat, memunculkan pertanyaan mengenai urgensi dan prioritas revisi UU TNI tersebut. Mengapa RUU Perampasan Aset yang dianggap lebih krusial dalam pemberantasan korupsi justru terkesan diabaikan?
Kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat pun menjadi sorotan. Ketidakmampuan DPR dalam merespons isu-isu krusial seperti reformasi peradilan militer semakin memperburuk citranya di mata publik. Muncul pertanyaan, apakah aksi-aksi penolakan UU TNI ini hanyalah puncak gunung es dari permasalahan yang lebih kompleks?
Ironisnya, di tengah gelombang demonstrasi, aksi teror berupa pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke redaksi Tempo justru dianggap remeh oleh sebagian pejabat pemerintah. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak memiliki empati terhadap ancaman terhadap kebebasan pers dan suara kritis masyarakat.
Teror politik ini mengingatkan pada novel "La Peste" karya Albert Camus, yang menggambarkan kekejaman Nazi melalui metafora wabah penyakit. Sama seperti dalam novel, teror dan ketakutan menyebar dengan cepat, menciptakan suasana mencekam di masyarakat.
Indikator Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Di sisi ekonomi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun penulis mengaku tidak terlalu memahami seluk-beluk IHSG, namun disadari bahwa IHSG merupakan salah satu indikator penting kesehatan ekonomi suatu negara.
Penurunan IHSG ini terjadi bersamaan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, yang mendekati level terendahnya sejak krisis moneter 1998. Pelemahan rupiah ini berpotensi mengganggu stabilitas fiskal dan meningkatkan harga barang-barang impor.
Klaim pemerintah mengenai fundamental ekonomi Indonesia yang masih kuat mengingatkan pada pernyataan serupa yang dilontarkan oleh penguasa Orde Baru menjelang krisis 1998. Pengalaman pahit masa lalu mengajarkan bahwa masalah kecil yang diabaikan dapat berkembang menjadi krisis yang dahsyat.
Daya Beli Masyarakat yang Merosot
Mudik Lebaran tahun ini juga diwarnai dengan penurunan daya beli masyarakat. Data menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga mengalami penurunan, terutama di kalangan menengah ke bawah. Hal ini tercermin dari penurunan jumlah pemudik dibandingkan tahun sebelumnya, yang mengindikasikan adanya penurunan pendapatan yang dibelanjakan.
Penurunan daya beli ini sejalan dengan maraknya PHK dan kebijakan efisiensi pemerintah yang berdampak pada pembatalan berbagai kegiatan ekonomi. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang digadang-gadang akan mensejahterakan rakyat masih belum menunjukkan dampak yang signifikan.
Di sisi lain, para pejabat pemerintah justru terkesan sibuk dengan kepentingan sendiri dan reaksioner terhadap kritik publik. Alih-alih merefleksikan kritik untuk perbaikan kebijakan, mereka justru menanggapinya secara emosional dan dangkal.
Refleksi Pasca-Lebaran
Mudik Lebaran seharusnya menjadi momen "jeda" dari kehidupan yang penuh persaingan dan ketidakadilan. Namun, kekhawatiran akan krisis ekonomi dan potensi gejolak sosial terus menghantui. Semoga di kampung halaman, kita dapat menemukan kembali keautentikan sebagai warga komunitas yang bersahaja dan egaliter.
Pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa pemerintah tidak boleh pongah dengan kebenarannya sendiri. Di luar Istana, terdapat banyak pandangan konstruktif yang dapat membantu bangsa dan negara. Sejarah seringkali bergerak di luar kehendak manusia, namun kita harus proaktif agar sejarah kelam tidak terulang.
Pemerintah hendaknya mendengarkan aspirasi masyarakat dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi krisis ekonomi dan mencegah terjadinya gejolak sosial. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa sukacita Lebaran tidak terusik oleh bayang-bayang masa lalu.