Refleksi Mudik: Antara Euforia Pulang Kampung dan Urgensi Pemerataan Pembangunan

Refleksi Mudik: Antara Euforia Pulang Kampung dan Urgensi Pemerataan Pembangunan

Mudik, sebuah fenomena tahunan yang sarat makna, lebih dari sekadar perjalanan fisik kembali ke kampung halaman. Ia adalah manifestasi kerinduan mendalam, ritual sosial yang mengakar, dan potret nyata kesenjangan pembangunan yang masih membayangi negeri ini. Di balik gegap gempita arus mudik, tersembunyi pertanyaan krusial: sejauh mana negara hadir dan bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan merata bagi seluruh warganya?

Setiap tahun, pemerintah mengklaim keberhasilan dalam penyelenggaraan mudik, membanggakan perbaikan infrastruktur, peningkatan koordinasi, dan perluasan layanan. Namun, esensi tanggung jawab negara tidaklah sebatas pada kelancaran lalu lintas dan kenyamanan perjalanan. Lebih dari itu, negara memiliki kewajiban moral untuk mengurai akar permasalahan yang menyebabkan jutaan orang harus meninggalkan kampung halaman demi mencari nafkah di kota.

Paradoks Pembangunan dan Gelombang Urbanisasi

Arus mudik adalah cerminan tajam dari ketimpangan pembangunan yang kronis. Gelombang urbanisasi yang tak terbendung memaksa penduduk desa berbondong-bondong mengadu nasib ke kota, meninggalkan tanah kelahiran yang tak mampu memberikan penghidupan layak. Mudik menjadi momen rekonsiliasi tahunan antara kota yang menawarkan harapan palsu dan desa yang merindukan kehidupan.

Ironisnya, negara seolah terjebak dalam paradoks. Di satu sisi, negara sibuk memfasilitasi mudik, namun di sisi lain, gagal menjawab pertanyaan mendasar: mengapa orang harus merantau? Pemerataan pembangunan masih menjadi jargon kosong, sementara desa-desa terus terpuruk dalam keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan infrastruktur yang memadai.

Kehadiran Negara yang Esensial

Kehadiran negara tidak boleh bersifat musiman atau kosmetik. Ia harus hadir sebelum dan sesudah mudik, saat petani gagal panen, saat anak-anak desa membutuhkan pendidikan berkualitas, saat warga kesulitan mengakses layanan publik karena birokrasi yang berbelit. Negara harus menjelma dalam kebijakan yang menyentuh akar persoalan, bukan sekadar polesan di permukaan.

Negara tidak boleh hanya menjadi manajer lalu lintas, tetapi harus menjadi arsitek keadilan sosial. Mudik mengungkap ketidaksiapan negara dalam menata mobilitas rakyat. Transportasi publik belum optimal, jalur alternatif belum memadai, dan integrasi moda transportasi masih jauh dari harapan. Negara seharusnya berfokus pada perbaikan sistem transportasi publik yang adil dan manusiawi, bukan menyalahkan perilaku pemudik.

Solidaritas Rakyat dan Tanggung Jawab Negara

Mudik adalah momen solidaritas yang luar biasa. Masyarakat saling berbagi, membantu, dan bekerja sama tanpa pamrih. Namun, semangat gotong royong ini tidak boleh dijadikan alasan bagi negara untuk lepas tangan. Justru sebaliknya, negara harus memperkuat solidaritas rakyat dengan memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai. Negara tidak boleh membiarkan kebaikan kolektif menggantikan tanggung jawab publik.

Di kampung halaman, orang menemukan kembali identitasnya, merasakan kehangatan keluarga, dan terhubung dengan akar budayanya. Mudik adalah momen untuk mengikat kembali tali sosial yang sering kali terputus oleh sistem yang menindas. Negara memiliki tanggung jawab mendasar untuk menjaga keutuhan sosial rakyatnya, bukan hanya mengurus jalan dan jembatan, tetapi juga memastikan bahwa setiap warga negara memiliki tempat pulang, baik secara fisik maupun batin.

Mudik Sebagai Cermin Kebijakan

Mudik bukanlah sekadar beban, melainkan cermin kebijakan yang jujur. Jika negara ingin mudik menjadi ringan dan bermakna, maka negara harus berani memulai dengan memperbaiki akar persoalan, mulai dari infrastruktur desa, layanan dasar, konektivitas digital, hingga akses permodalan. Negara harus membalik orientasi pembangunan, bukan lagi membangun kota untuk menyerap desa, tetapi membangun desa agar tidak tergantung pada kota.

Akhirnya, mudik adalah tentang keberpihakan. Apakah negara berpihak pada kenyamanan elite, atau pada keadilan sosial? Apakah negara hanya mengatur keramaian, atau menyentuh kerinduan yang lebih dalam? Di tengah gegap gempita mudik, negara harus merenung dan bertanya: sudahkah aku benar-benar hadir? Bukan hanya di jalan tol dan posko, tetapi di dapur rakyat, di ladang-ladang sepi, di sekolah yang nyaris roboh, di klinik yang kekurangan tenaga. Karena tanggung jawab negara tidak hanya hadir di momen seremonial, tetapi dalam keberanian merombak ketimpangan dan komitmen melayani mereka yang jauh dari panggung kekuasaan.

Mudik adalah pulang. Dan negara, jangan hanya menunggu rakyat kembali. Jadilah rumah yang tak pernah pergi.