Ade Ismail: Dedikasi Tanpa Batas untuk Pendidikan Islam Inklusif bagi Tunanetra

Cahaya Ilmu di Balik Keterbatasan: Kisah Ade Ismail dan Raudlatul Makfufin

Di tengah hiruk pikuk Jakarta, Ade Ismail menjalankan amanah yang diemban dengan sepenuh hati. Sebagai Ketua Yayasan Raudlatul Makfufin, ia adalah nahkoda bagi lembaga pendidikan Islam yang berdedikasi untuk anak-anak tunanetra. Lebih dari sekadar pemimpin, Ade adalah teladan, inspirasi, dan bukti nyata bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk meraih ilmu dan menggapai cita-cita.

Raudlatul Makfufin, yang berarti 'Taman Kaum Tunanetra', adalah oase pendidikan bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan. Yayasan ini menaungi berbagai unit yang saling mendukung, mulai dari Sekolah Islam Terpadu (SIT) Yarfin yang menawarkan pendidikan formal berbasis agama, Unit Percetakan Braille Yarfin yang memproduksi Al-Quran dan buku-buku Islam dalam huruf braille, Majelis Ta'lim Ikatan Jamaah Raudlatul Makfufin yang menjadi wadah pengajian dan kajian keislaman, hingga Wahana Karya Yarfin yang memberikan pelatihan keterampilan bagi para santri.

Kisah Ade Ismail dengan Raudlatul Makfufin bermula tiga dekade silam. Sebagai pemuda asal Balikpapan, Kalimantan Timur, ia merasakan dahaga akan ilmu agama yang inklusif bagi tunanetra. Minimnya akses dan stigma yang melekat pada disabilitas membuat Ade terpanggil untuk mencari lembaga pendidikan yang benar-benar memahami kebutuhan uniknya. Ia meyakini bahwa tunanetra memiliki hak yang sama untuk mempelajari agama Islam, menjalankan ibadah, dan memahami ajaran-ajaran Al-Quran.

"Banyak yang beranggapan bahwa teman-teman tunanetra dosanya dianggap berkurang karena keterbatasan penglihatan. Padahal, kami juga memiliki kewajiban yang sama di hadapan Allah SWT untuk beribadah, salat, berpuasa, membaca Al-Quran, dan bersedekah," ungkap Ade.

Ketertarikannya pada Raudlatul Makfufin membawanya ke Jakarta, di mana ia bertemu dengan Raden Halim Saleh, pendiri yayasan yang juga seorang tunanetra. Di bawah bimbingan Raden Halim, Ade semakin memahami pentingnya komunitas dalam mendukung pendidikan Islam bagi tunanetra. Ia pun bertekad untuk melanjutkan perjuangan sang guru, mencerdaskan anak bangsa yang memiliki keterbatasan penglihatan.

Waktu berlalu, Ade menunjukkan dedikasi dan kepemimpinan yang luar biasa. Ia dipercaya untuk memimpin berbagai unit di yayasan, termasuk menjabat sebagai Kepala SIT Yarfin. Puncaknya, pada tahun 2023, ia diamanahkan sebagai Ketua Yayasan Raudlatul Makfufin. Sebagai pemimpin, Ade fokus pada peningkatan akses Al-Quran braille bagi tunanetra. Ia menyadari bahwa keterbatasan bahan bacaan dan kurangnya tenaga pengajar menjadi kendala utama bagi tunanetra untuk mempelajari Al-Quran.

Sejak tahun 2000, Raudlatul Makfufin telah memproduksi Al-Quran braille dalam berbagai format:

  • Al-Quran braille dengan terjemahan
  • Al-Quran braille tanpa terjemahan
  • Al-Quran braille two-in-one (dua juz dalam satu buku)
  • Al-Quran braille three-in-one (tiga juz dalam satu buku)

Saat ini, percetakan mereka mampu menghasilkan hingga lima set Al-Quran braille setiap hari, selain buku-buku Islam lainnya. Ade berharap, dengan adanya Al-Quran braille, tunanetra dapat memahami makna ayat-ayat suci Al-Quran secara utuh.

"Selama ini, mungkin mereka hanya tahu bunyi Surah Al-Fatihah atau Al-Ikhlas. Alhamdulillah, dengan Al-Quran braille, mereka bisa mengetahui tulisannya, arti ayatnya, dan bagaimana mengkajinya," jelas Ade.

Namun, perjalanan Ade masih panjang. Ia ingin memperluas akses pendidikan Islam dan pendidikan formal bagi tunanetra, serta memastikan tidak ada lagi anak-anak tunanetra yang mengalami kesulitan seperti dirinya di masa lalu. Ia berpegang teguh pada ajaran Raden Halim Saleh, bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk meraih masa depan yang gemilang. Prinsip inilah yang ia tanamkan kepada para santrinya.

"Ada kata bijak yang mengatakan, kalau telinga tidak mendengar, bukan berarti suara itu tidak ada. Kalau mulut tidak bisa bersuara, bukan berarti suara itu tidak ada. Kalau mata tidak melihat, bukan berarti cahaya itu tidak ada. Hilangnya penglihatan bukan berarti kehilangan segalanya. Mereka tetap memiliki sesuatu yang sama, hanya cara memperolehnya yang berbeda," pungkas Ade, menyiratkan semangat pantang menyerah yang menjadi ciri khasnya. Dedikasi Ade Ismail dan Raudlatul Makfufin adalah bukti nyata bahwa pendidikan inklusif dapat mengubah hidup dan membuka jalan bagi tunanetra untuk meraih potensi mereka sepenuhnya.