Dugaan Oplosan Pertamax Guncang Kepercayaan Publik: Migrasi Konsumen ke SPBU Swasta Meningkat

Dugaan Oplosan Pertamax Guncang Kepercayaan Publik: Migrasi Konsumen ke SPBU Swasta Meningkat

Pengungkapan kasus dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menimbulkan gelombang kekecewaan di kalangan masyarakat. Skandal yang melibatkan sejumlah petinggi PT Pertamina (Persero) ini tidak hanya mencoreng reputasi perusahaan pelat merah tersebut, tetapi juga berdampak signifikan terhadap perilaku konsumen BBM. Banyak pengendara kini memilih beralih ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta, khususnya Shell, sebagai alternatif yang dianggap lebih terjamin kualitas dan pelayanannya.

Sejumlah konsumen yang diwawancarai mengungkapkan alasan mereka beralih ke SPBU swasta. Bayu (25), seorang pengguna setia Shell, menjelaskan bahwa meskipun harga BBM di Shell lebih mahal, pelayanan yang diberikan lebih memuaskan. Hal senada diungkapkan oleh Ucup (39), seorang pengemudi ojek online (ojol), yang menilai BBM di Shell lebih irit dan menghasilkan tarikan kendaraan yang lebih ringan. Menurutnya, perbedaan performa kendaraan antara Pertamax dan BBM di Shell cukup signifikan, sehingga perbedaan harga menjadi hal yang relatif kurang penting. Ucup bahkan rutin melakukan perawatan kendaraannya di SPBU Shell, menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap brand tersebut.

Dampak skandal ini terlihat jelas di lapangan. Pantauan di sejumlah SPBU menunjukkan perbedaan yang signifikan antara SPBU Pertamina dan SPBU swasta seperti Shell. SPBU Shell mengalami peningkatan jumlah pelanggan yang cukup drastis, bahkan sampai menambah jumlah pompa untuk memenuhi kebutuhan pengisian BBM. Sebaliknya, beberapa SPBU Pertamina, terutama area pengisian Pertamax, terlihat sepi. Di beberapa SPBU yang dikunjungi, terlihat minimnya petugas yang berjaga di area pengisian Pertamax, sementara antrean untuk Pertalite justru lebih panjang. Kondisi ini menggambarkan penurunan signifikan minat konsumen terhadap Pertamax.

Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan pengoplosan BBM ini. Tersangka utama, RS, diduga membeli Pertalite (Ron 90) untuk kemudian dicampur menjadi Pertamax (Ron 92), sebuah praktik yang jelas melanggar aturan. Selain RS, terlibat pula sejumlah petinggi PT Pertamina, termasuk Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional. Tiga tersangka lainnya adalah MKAR (beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa), DW (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim), dan GRJ (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak). Kasus ini telah menimbulkan pertanyaan serius mengenai pengawasan dan tata kelola di PT Pertamina.

Kasus dugaan pengoplosan Pertamax ini bukan hanya masalah kualitas BBM, tetapi juga masalah kepercayaan publik terhadap perusahaan BUMN. Kepercayaan yang selama ini terbangun perlahan-lahan mulai runtuh, dan konsumen semakin mencari alternatif lain yang dianggap lebih terpercaya. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi Pertamina untuk melakukan perbaikan menyeluruh dalam hal tata kelola, pengawasan, dan menjaga kualitas produk agar kepercayaan publik dapat dipulihkan kembali. Tantangan bagi Pertamina kini adalah bagaimana merebut kembali kepercayaan konsumen yang telah hilang dan memperbaiki citra perusahaan yang tercoreng.