Konflik Memanas di Myanmar: Junta Dituduh Gencarkan Serangan Udara di Tengah Bencana Gempa
Konflik Memanas di Myanmar: Junta Dituduh Gencarkan Serangan Udara di Tengah Bencana Gempa
Di tengah upaya penanggulangan dampak gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo yang mengguncang Myanmar dan menelan ribuan korban jiwa, junta militer yang berkuasa justru dituduh meningkatkan serangan udara di wilayah-wilayah sipil. Tuduhan ini datang dari kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang selama ini berkonflik dengan rezim militer.
Serikat Nasional Karen (KNU), salah satu kelompok etnis bersenjata tertua di Myanmar, mengecam tindakan junta yang dinilai tidak berperikemanusiaan. Menurut KNU, alih-alih memprioritaskan bantuan kemanusiaan bagi para korban gempa, militer Myanmar justru terus melancarkan serangan udara yang menyasar wilayah-wilayah yang dihuni warga sipil.
"Dalam situasi normal, militer seharusnya fokus pada upaya penyelamatan dan bantuan. Namun, yang terjadi di Myanmar adalah sebaliknya. Militer justru menggunakan bencana ini sebagai momentum untuk meningkatkan operasi militer terhadap rakyatnya sendiri," ujar juru bicara KNU dalam pernyataan resminya, seperti dilansir dari Reuters.
Kelompok bantuan kemanusiaan Free Burma Rangers juga melaporkan bahwa jet-jet tempur dan pesawat nirawak milik militer Myanmar melancarkan serangkaian serangan udara di Negara Bagian Karen, dekat dengan markas besar KNU, tak lama setelah gempa bumi terjadi pada Jumat (28/3/2025). Serangan ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah yang terdampak gempa.
Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, turut menyampaikan keprihatinannya atas situasi yang terjadi di Myanmar. Ia mendesak semua pihak yang terlibat konflik untuk segera melakukan gencatan senjata demi memfasilitasi penyaluran bantuan kemanusiaan secara efektif.
"(Balakrishnan) menyerukan gencatan senjata segera dan efektif di Myanmar yang akan memfasilitasi upaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan rekonsiliasi, perdamaian, dan rekonstruksi nasional jangka panjang," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Singapura.
Sampai saat ini, pihak junta militer belum memberikan tanggapan atas tuduhan yang dilayangkan oleh kelompok-kelompok perlawanan bersenjata. Namun, sejak kudeta militer pada tahun 2021, Myanmar memang dilanda perang saudara antara militer dan berbagai kelompok oposisi yang menentang kekuasaan junta.
Gempa bumi berkekuatan 7,7 magnitudo yang mengguncang Myanmar berpusat di wilayah yang dikuasai oleh junta militer. Namun, dampak kerusakan akibat gempa juga meluas ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kelompok-kelompok perlawanan bersenjata, sehingga mempersulit upaya bantuan.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang terdiri dari sisa-sisa pemerintahan yang digulingkan dalam kudeta 2021, telah mengumumkan bahwa milisi-milisi antijunta di bawah komandonya akan menghentikan semua aksi militer ofensif selama dua minggu ke depan sebagai bentuk solidaritas terhadap para korban gempa.
Namun, Richard Horsey, penasihat senior Myanmar di Crisis Group, mengatakan bahwa meskipun beberapa kelompok antijunta telah menghentikan serangan mereka, pertempuran masih terus berlangsung di beberapa wilayah lain. Ia juga mengecam junta militer yang terus melancarkan serangan udara, termasuk di daerah-daerah yang terdampak gempa.
"Rezim juga terus melancarkan serangan udara, termasuk di daerah yang terkena dampak. Itu harus dihentikan," tegas Horsey.
Lebih lanjut, Horsey juga menyoroti minimnya dukungan yang diberikan oleh pemerintah Myanmar kepada para korban gempa. Menurutnya, pemerintah hanya mengerahkan petugas pemadam kebakaran setempat, kru ambulans, dan organisasi masyarakat untuk membantu warga yang terdampak gempa.
Situasi di Myanmar saat ini sangat memprihatinkan. Di tengah bencana alam yang dahsyat, konflik bersenjata terus berkecamuk, mempersulit upaya bantuan dan pemulihan. Masyarakat internasional mendesak semua pihak yang terlibat konflik untuk segera menghentikan kekerasan dan memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar.