Eskalasi Ketegangan AS-Iran: Khamenei Bersumpah Balas Dendam Jika Trump Melaksanakan Ancaman Pengeboman
Ketegangan AS-Iran Meningkat: Khamenei Siap Membalas Ancaman Trump
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran kembali memanas setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan melakukan serangan militer jika Teheran tidak menyetujui kesepakatan baru terkait program nuklirnya. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menanggapi ancaman tersebut dengan peringatan keras, menegaskan bahwa Iran akan memberikan "serangan balik yang kuat" jika diserang.
"Mereka mengancam akan melakukan kejahatan," ujar Khamenei dalam pidatonya saat Idul Fitri, seperti dilansir AFP. "Jika itu dilakukan, mereka pasti akan menerima serangan balik yang kuat." Pernyataan Khamenei ini merupakan respons langsung terhadap komentar Trump yang dilontarkan dalam sebuah wawancara, di mana ia menyatakan bahwa Iran akan "dibom" jika tidak mencapai kesepakatan mengenai program nuklirnya. Trump juga mengancam akan menjatuhkan "tarif sekunder" sebagai hukuman tambahan.
Ancaman Trump ini merupakan kelanjutan dari kebijakan "tekanan maksimum" yang diterapkan pemerintahannya terhadap Iran sejak menjabat pada Januari 2025. Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) pada tahun 2018 dan memberlakukan kembali sanksi ekonomi yang ketat terhadap Teheran, dengan tujuan memaksa Iran untuk bernegosiasi ulang mengenai persyaratan yang lebih menguntungkan bagi AS. JCPOA merupakan perjanjian yang dicapai pada tahun 2015 antara Iran dan enam negara besar dunia (AS, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan China), yang membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.
Negara-negara Barat, termasuk AS, telah lama menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir, tuduhan yang dibantah keras oleh Teheran. Iran bersikeras bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai, seperti produksi energi dan aplikasi medis.
Sebelumnya, Trump mengungkapkan bahwa ia telah mengirim surat kepada Khamenei melalui mediasi Uni Emirat Arab (UEA), menyerukan perundingan nuklir dan memperingatkan kemungkinan aksi militer jika Teheran menolak. Iran telah menanggapi surat tersebut melalui Oman, yang secara historis bertindak sebagai perantara antara AS dan Iran. Namun, Teheran menegaskan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam negosiasi langsung dengan AS di bawah tekanan dan ancaman militer, tetapi tetap terbuka untuk negosiasi tidak langsung.
Selain isu nuklir, ketegangan antara AS dan Iran juga dipicu oleh peran Iran di kawasan Timur Tengah. Negara-negara Barat menuduh Iran menggunakan kelompok-kelompok proksi untuk memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut. Iran memimpin apa yang disebut "poros perlawanan" melawan Israel, yang mencakup kelompok-kelompok seperti Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan kelompok bersenjata di Irak.
Khamenei dengan keras membela kebijakan regional Iran, menyatakan bahwa "Hanya ada satu kekuatan proksi di kawasan ini, dan itu adalah rezim Zionis perampas kekuasaan yang korup," merujuk pada Israel. Iran tidak mengakui Israel dan secara konsisten menyerukan penghancurannya.
Berikut poin-poin penting dalam ketegangan yang meningkat:
- Ancaman Pengeboman Trump: Presiden Trump mengancam akan membom Iran jika tidak mencapai kesepakatan baru terkait program nuklirnya.
- Respons Khamenei: Pemimpin Tertinggi Iran memperingatkan akan memberikan "serangan balik yang kuat" jika Iran diserang.
- Kebijakan Tekanan Maksimum: Trump telah menerapkan kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran sejak menjabat.
- Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA): AS menarik diri dari JCPOA pada tahun 2018 dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran.
- Tuduhan Senjata Nuklir: Negara-negara Barat menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir, yang dibantah oleh Teheran.
- Peran Iran di Timur Tengah: AS dan sekutunya menuduh Iran menggunakan kelompok-kelompok proksi untuk memperluas pengaruhnya.
- Posisi Iran terhadap Israel: Iran tidak mengakui Israel dan menyerukan penghancurannya.
Situasi ini sangat berbahaya dan meningkatkan risiko konflik militer di Timur Tengah. Komunitas internasional mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri dan mencari solusi diplomatik untuk menyelesaikan perbedaan mereka.