Konflik Agraria di Negeri Haya: Ketika Pembangunan Mengabaikan Hak Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal

Konflik Agraria di Negeri Haya: Ketika Pembangunan Mengabaikan Hak Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal

Pembangunan di Indonesia, yang seringkali didorong oleh pendekatan teknokratis, kerap kali mengabaikan dinamika sosial dan aspirasi masyarakat, terutama masyarakat adat. Aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat adat di berbagai wilayah, terkait dengan penguasaan tanah ulayat oleh pemilik modal, menjadi bukti nyata kegagalan program pembangunan dalam memahami kepentingan masyarakat adat secara menyeluruh. Konflik agraria ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek sosial, budaya, dan lingkungan yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat.

Kasus di Negeri Haya, Maluku Tengah, adalah contoh nyata dari konflik agraria yang muncul akibat ketidakselarasan antara pembangunan dan hak-hak masyarakat adat. Aksi protes masyarakat adat Negeri Haya dipicu oleh perusakan ritual sasi, sebuah tradisi sakral yang berfungsi menghentikan sementara aktivitas pengerukan pasir garnet di tanah ulayat mereka. Ritual ini dirusak oleh pekerja perusahaan, memicu ketegangan antara masyarakat adat dan perusahaan. Pelaksanaan ritual sasi ini bukan tanpa alasan, dilakukan saat masyarakat melihat kondisi ekologi tanah ulayat semakin parah akibat pengerukan pasir yang berlebihan, menyebabkan abrasi.

Akar Masalah: Izin Usaha Pertambangan dan Paradigma Pembangunan

Kasus Negeri Haya bukanlah kasus tunggal. Data menunjukkan bahwa ada ratusan kasus serupa di berbagai wilayah Indonesia. Sebagian besar aksi protes berakar dari masalah terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan pemerintah tanpa sepengetahuan masyarakat setempat. Perusahaan tiba-tiba beroperasi di tanah ulayat, mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Apa yang terjadi di Negeri Haya dan daerah lain menunjukkan bahwa orientasi pembangunan di Indonesia masih bertumpu pada paradigma pertumbuhan ekonomi, dengan semangat utilitarianisme, mengabaikan kehendak masyarakat setempat.

Pernyataan Tania Murray Li bahwa “Pembangunan di Indonesia yang tampaknya bertujuan memperbaiki kesejahteraan masyarakat setempat, justru berbalik arah merusak kesejahteraan itu sendiri,” menjadi sangat relevan. Masyarakat masih resah dan tidak bahagia, meskipun aktivitas pertambangan terus beroperasi demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Ketidakbahagiaan yang dirasakan masyarakat lewat aksi protes mencerminkan bahwa sila kelima Pancasila belum sepenuhnya dijalankan.

Sense of Place: Keterikatan Masyarakat pada Ruang Hidup

Orientasi pembangunan di Indonesia perlu direformasi dengan mempertimbangkan konteks sense of place—kesadaran dan keterikatan masyarakat terhadap ruang hidup mereka. Konteks ini perlu masuk ke dalam orientasi pembangunan. Contoh kasus di New South Wales, Australia, ketika pertambangan batu bara masuk ke wilayah masyarakat, menunjukkan dampak negatif perubahan lanskap terhadap masyarakat. Perasaan negatif yang muncul diistilahkan sebagai solastalgia, yaitu perasaan rindu dan sedih saat berada di lokasi yang terus berubah. Masyarakat mengalami efek keterputusan relasi dengan rumah mereka.

Semakin masyarakat menjalin relasi yang intens dengan rumah mereka, semakin terbentuk sense of place. Sebaliknya, semakin masyarakat terputus dengan rumah mereka, semakin hancur sense of place. Kehancuran sense of place ini yang kemudian mendorong masyarakat melakukan aksi protes terhadap pengambil kebijakan dan pemilik modal yang merusak rumah mereka. Sense of place memiliki dua dimensi mendasar: emosional (identitas tempat) dan fungsional (ketergantungan pada tempat). Identitas tempat merujuk pada makna simbolik yang diberikan masyarakat pada tempat tersebut, sementara ketergantungan pada tempat menunjukkan ikatan fungsional masyarakat terhadap tempat yang memenuhi kebutuhan mereka.

Kedua dimensi ini perlu menjadi perhatian dalam orientasi program pembangunan di Indonesia. Jika program pembangunan tidak mengakomodasi kedua dimensi ini, yang muncul adalah ketidaksejahteraan, ketimpangan, dan kehancuran. Jika orientasi program pembangunan masih bertumpu pada pengejaran pertumbuhan ekonomi tanpa melibatkan kehendak masyarakat (sense of place), sulit untuk mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat.