Ekspansi Transjabodetabek: Solusi Kurangi Ketergantungan Kendaraan Pribadi di Jabodetabek?

Ekspansi Transjabodetabek: Upaya Menekan Penggunaan Kendaraan Pribadi di Jabodetabek

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah berencana memperluas jaringan bus Transjabodetabek dengan membuka rute-rute baru yang menjangkau kawasan Alam Sutera hingga Vida Bekasi. Inisiatif ini mencakup rute-rute penting seperti Bekasi - Cawang, Bogor - Cawang, Alam Sutera - Blok M, dan Binong - Grogol.

Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menyambut baik rencana ini. Menurutnya, perluasan Transjabodetabek menjadi langkah krusial untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi, yang selama ini diperparah oleh tata ruang yang tidak teratur. Penempatan rute-rute baru di dekat kawasan permukiman diharapkan dapat memudahkan aksesibilitas transportasi publik bagi warga.

Perluasan Jangkauan dan Keterlibatan Operator

Sejak diluncurkan pada 2017, program JR Connexion (JRC) telah melayani 23 kawasan permukiman di wilayah Bodetabek. Melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan, bus JRC ditempatkan di 117 titik strategis di kawasan permukiman Jabodetabek. Tahun ini, targetnya adalah menjangkau 40 titik tambahan. Inisiatif ini melibatkan berbagai operator bus, termasuk Perum Damri, PT Eka Sari Lorena Transport, PT Sinar Jaya, PT Transportasi Jakarta, PT Royal Wisata Nusantara, dan Alfa Omega Sehati.

Tantangan dan Potensi

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah penduduk di Jabodetabek mencapai 31.684.645 jiwa. Analisis BPTJ menunjukkan bahwa potensi jumlah penduduk yang dapat dilayani oleh angkutan umum adalah 7.977.987 jiwa atau 25,18%. Namun, ketersediaan halte yang berjarak kurang dari 500 meter dari tempat tinggal masih menjadi tantangan. Wilayah dengan potensi tertinggi adalah Jakarta Pusat (88,5%), Jakarta Selatan (70,84%), dan Jakarta Timur (64,09%), sementara Kabupaten Bekasi (0,84%), Kabupaten Tangerang (0,76%), dan Kabupaten Bogor (0,67%) memiliki angka terendah. Rendahnya fasilitas angkutan umum mencerminkan masalah tata ruang yang perlu segera diatasi.

Ketergantungan pada Ojek dan Dampaknya

Akibat tata ruang yang kurang baik, masyarakat masih sangat bergantung pada kendaraan pribadi dan ojek. Di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, komposisi angkutan umum hanya 2%, mobil 23%, dan sepeda motor mencapai 75%. Ketidakseimbangan ini menunjukkan kurangnya sinkronisasi antara pembangunan perumahan dan penyediaan layanan transportasi publik.

Djoko Setijowarno menekankan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah semakin terbebani. Selain harga rumah yang mahal, mereka juga terpaksa membeli kendaraan pribadi karena minimnya transportasi umum. Data Badan Pengelola Tapera (2023) mencatat ada 2.010 perumahan di Jabodetabek, yang terdiri dari berbagai kelas harga. Di wilayah Bodetabek, terdapat 1.824 perumahan yang mayoritas adalah kelas menengah dan bawah yang membutuhkan layanan angkutan umum.

Solusi dan Rekomendasi

Layanan angkutan umum yang dibutuhkan bisa berupa angkutan penghubung ke stasiun KRL, LRT, atau halte Transjabodetabek terdekat. Layanan langsung seperti bus JRC, terutama pada jam sibuk, juga sangat penting. Di luar jam sibuk, angkutan umum dapat berfungsi sebagai penyambung (feeder).

Djoko menambahkan bahwa generasi muda menghadapi beban berat dalam menjangkau hunian. Selain harga rumah yang terus meningkat, mereka juga harus membeli kendaraan bermotor karena kurangnya akses transportasi umum. Perumahan menjadi kurang layak huni jika tidak didukung oleh akses transportasi yang memadai.

Evaluasi dan Pengembangan Rute

Beberapa angkutan umum yang baru dibenahi antara lain Trans Pakuan di Kota Bogor, Trans Patriot di Bekasi, Trans Wibawa di Kabupaten Bekasi, Trans Ayo di Kota Tangerang, dan Trans Depok di Kota Depok. Perluasan layanan Transjabodetabek diharapkan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi ke Jakarta dan mencapai target 60% warga Jabodetabek beralih ke angkutan umum.

Selain itu, penerapan jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) perlu dipertimbangkan untuk mengendalikan mobilitas kendaraan pribadi di Jakarta. Djoko mengingatkan bahwa sebelum era 1990-an, pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan perumahan yang seimbang dengan layanan transportasi umum. Namun, saat ini layanan angkutan kota ke permukiman semakin berkurang.

Revisi Undang-Undang

Djoko Setijowarno juga menyoroti bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman tidak mewajibkan fasilitas transportasi umum sebagai bagian dari sarana umum. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk merevisi UU tersebut agar memastikan ketersediaan fasilitas umum di kawasan permukiman. Revisi UU ini diharapkan dapat memasukkan kewajiban pembangunan perumahan dan permukiman yang disertai dengan penyediaan fasilitas akses transportasi umum.