Polemik Mobil Dinas untuk Mudik ASN: Uji Integritas Birokrasi dan Keadilan Publik

Kontroversi Penggunaan Mobil Dinas ASN untuk Mudik: Sebuah Analisis Mendalam

Momen Idul Fitri, yang identik dengan silaturahmi dan kepadatan lalu lintas, tahun ini diwarnai isu kontroversial yang memicu perdebatan publik: pemanfaatan kendaraan dinas oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk keperluan mudik.

Kebijakan yang menuai sorotan ini bukan berasal dari daerah pelosok atau pemimpin daerah yang baru menjabat. Justru, Wali Kota Depok, Supian Suri, menjadi sorotan karena memberikan izin kepada ASN di wilayahnya untuk menggunakan mobil dinas sebagai sarana transportasi pulang kampung.

Bagi sebagian ASN, keputusan ini mungkin dianggap sebagai angin segar, sebuah bentuk perhatian dari pimpinan terhadap kesejahteraan pegawai. Namun, bagi masyarakat luas yang berkontribusi melalui pajak untuk menggaji ASN, kebijakan ini dinilai mencederai rasa keadilan. Negara seolah kembali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, dan pajak menjadi korban dari praktik birokrasi yang dianggap kurang etis.

Pembenaran yang Janggal

Permasalahan utama bukan hanya pada kebijakan itu sendiri, tetapi juga pada pembenarannya. Supian Suri berdalih bahwa tidak semua ASN memiliki kendaraan pribadi, sehingga mobil dinas dapat dimanfaatkan dengan catatan dirawat dengan baik dan dikembalikan dalam kondisi semula. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan, ASN yang bersangkutan bertanggung jawab penuh.

Alasan ini dinilai dangkal dan mengabaikan esensi pelayanan publik. Mobil dinas dibeli bukan dari dana pribadi wali kota, melainkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kendaraan tersebut adalah aset negara yang penggunaannya dibatasi oleh regulasi, etika birokrasi, dan prinsip akuntabilitas publik.

Krisis Etika Birokrasi

Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, isu ini mencerminkan krisis etika birokrasi yang mendalam. Ketika mobil dinas digunakan untuk mudik, bukan hanya aturan yang dilanggar, tetapi juga integritas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah secara jelas menyatakan bahwa kendaraan dinas hanya boleh digunakan untuk kepentingan kedinasan, bukan untuk urusan pribadi. Penggunaan di luar ketentuan tersebut, apalagi untuk mudik, merupakan pelanggaran hukum dan etika.

Ironisnya, pelanggaran ini justru dirasionalisasi oleh pemimpin daerah. Ketika seorang kepala daerah mengambil kebijakan seperti ini, ASN akan cenderung menganggap bahwa melanggar aturan adalah hal yang wajar. Penyimpangan kecil lama-kelamaan menjadi budaya, yang pada akhirnya dapat memicu praktik korupsi.

Mudik adalah urusan pribadi, bukan bagian dari tugas kedinasan. Oleh karena itu, memanfaatkan fasilitas negara untuk mudik merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang.

Batas Antara Pelayanan Publik dan Kenyamanan Pribadi

Jika setiap ASN diperbolehkan membawa pulang mobil dinas, lalu di mana batasan antara pelayanan publik dan kenyamanan pribadi? Kepala daerah seharusnya menjadi contoh dalam menegakkan disiplin dan integritas ASN, bukan justru memberikan pembenaran atas pelanggaran.

Ketika seorang wali kota mengizinkan mobil dinas digunakan untuk mudik, pesan yang disampaikan kepada publik adalah bahwa fasilitas negara dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang dekat dengan kekuasaan.

Bayangkan jika seluruh kabupaten/kota di Indonesia mengikuti jejak Depok. Ribuan kendaraan dinas akan berbondong-bondong keluar daerah tanpa kejelasan fungsi, akuntabilitas, dan kontrol. Masyarakat hanya bisa menyaksikan mobil-mobil berpelat merah melaju ke kampung halaman ASN, menggunakan bahan bakar bersubsidi, dan parkir di garasi rumah keluarga.

Reaksi Publik dan Teguran dari Pemerintah Pusat

Kebijakan ini menuai reaksi keras dari publik. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, secara terbuka menegur wali kota Depok dan menekankan bahwa mobil dinas hanya boleh digunakan untuk kepentingan dinas.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga memberikan kritik pedas. Wakil Menteri Dalam Negeri, John Wempi Wetipo, menyatakan bahwa pihaknya akan memberikan teguran resmi karena kebijakan tersebut tidak sejalan dengan semangat akuntabilitas dan aturan pengelolaan aset daerah.

Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut angkat bicara. Lembaga antirasuah itu memperingatkan bahwa penyalahgunaan fasilitas negara, meskipun tidak menimbulkan kerugian langsung, tetap merupakan bentuk penyimpangan yang harus diwaspadai. Korupsi seringkali dimulai dari penyalahgunaan wewenang kecil yang dianggap sepele.

Namun, hingga saat ini belum ada tanda-tanda bahwa Supian Suri akan mencabut kebijakan tersebut atau meminta maaf kepada publik. Yang terjadi justru pembelaan diri, seolah-olah kepedulian terhadap ASN lebih penting daripada kepatuhan terhadap hukum dan keadilan bagi pembayar pajak.

Implikasi Pajak dan Keadilan Sosial

Aspek yang paling sensitif dari permasalahan ini adalah pajak. Mobil dinas dibeli dari uang pajak. ASN digaji dari uang pajak. Jalan yang dilalui kendaraan dinas juga dibangun dari pajak. Ketika fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi, yang dirampas adalah hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan birokrasi yang bersih dan tertib.

Ketidakadilan fiskal ini semakin terasa ketika banyak pemudik lain harus berjuang mencari transportasi umum, mengantre tiket, atau bahkan menyewa mobil pribadi dengan biaya yang mahal. Mereka tidak memiliki fasilitas negara untuk ditumpangi. Mereka adalah rakyat yang justru ikut membayar kendaraan dinas tersebut melalui PPN, PBB, pajak kendaraan, dan pungutan lainnya.

Ironisnya, rakyat berusaha menahan diri agar pajaknya digunakan dengan tepat, sementara pejabat justru merasa wajar menggunakan uang negara untuk mudik.

Kebijakan wali kota Depok ini melukai rasa keadilan sosial yang seharusnya menjadi fondasi pemerintahan daerah.

Mudik seharusnya membawa nilai-nilai positif seperti kesederhanaan, silaturahmi, dan refleksi diri. Namun, dengan kebijakan seperti ini, mudik justru menjadi simbol bagaimana kekuasaan dapat membengkokkan hukum dan akal sehat. Ketika kendaraan negara dijadikan alat untuk pulang kampung, mudik kehilangan maknanya sebagai ruang kontemplasi.

Pemerintahan daerah adalah representasi negara yang paling dekat dengan rakyat. Ketika representasi ini mulai ternoda, citra negara pun ikut meredup.

Dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), penggunaan aset negara harus transparan, efisien, dan akuntabel, bukan dikerumuni dalih empati yang sesat.

Publik tidak hanya menunggu teguran dari Kemendagri, tetapi juga tindakan nyata. Harus ada konsekuensi yang jelas bagi setiap penyalahgunaan wewenang, sekecil apapun itu. Jangan sampai kesalahan seperti ini dianggap wajar hanya karena dilakukan oleh kepala daerah yang populer atau dekat dengan kekuasaan pusat.

Mudik adalah hak setiap orang. Namun, memanfaatkan negara untuk memenuhi hak tersebut adalah sebuah kesalahan.

Di tengah krisis kepercayaan terhadap birokrasi, pejabat publik seharusnya memperkuat disiplin etika, bukan justru merusaknya. Negara bukan pelayan individu, bukan sopir pribadi ASN, dan yang terpenting, bukan milik pejabat.

Kebijakan wali kota Depok menjadi contoh bagaimana integritas birokrasi dapat tergelincir oleh empati yang salah sasaran. Ketika fasilitas negara digunakan untuk urusan pribadi, yang dipertaruhkan bukan hanya mobil dinas, tetapi juga kepercayaan rakyat. Kepercayaan yang hilang sulit ditebus dengan alasan apapun.

Saat ini, publik tidak membutuhkan klarifikasi, melainkan keteladanan.