Kejati NTT Terapkan Restorative Justice: Tiga Kasus Pidana Dihentikan, Tersangka Wajib Kerja Sosial
Kejati NTT Terapkan Restorative Justice: Tiga Kasus Pidana Dihentikan, Tersangka Wajib Kerja Sosial
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) baru-baru ini mengambil langkah progresif dengan menerapkan mekanisme restorative justice (RJ) pada tiga kasus pidana berbeda. Hal ini diungkapkan Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTT, AA.Raka Putra Dharmana, dalam ekspos daring yang digelar pekan lalu. Ekspos tersebut mempresentasikan permohonan penghentian penuntutan terhadap tiga tersangka yang telah mencapai kesepakatan damai dengan korban. Keputusan ini menandai komitmen Kejati NTT dalam mengedepankan pendekatan penyelesaian konflik yang berorientasi pada pemulihan dan restorasi, ketimbang semata-mata pada hukuman.
Ketiga kasus tersebut melibatkan tersangka dari berbagai latar belakang dan jenis pelanggaran. Pertama, kasus yang diajukan Kejaksaan Negeri Alor terhadap Hemsy Semuel Pisdon, yang didakwa berdasarkan Pasal 311 Ayat (3) atau Pasal 310 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hemsy, yang terbukti mengemudikan sepeda motor dalam kondisi mabuk dan menyebabkan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan hingga sedang pada korban, telah mencapai perdamaian dengan korban dan proses penuntutan dihentikan. Kejaksaan Negeri Alor memfasilitasi proses perdamaian ini, hingga tercapai kesepakatan damai yang memuaskan kedua belah pihak.
Kedua, Kejaksaan Negeri Rote Ndao mengajukan permohonan penghentian penuntutan untuk tersangka Jek Kornelis Mulik alias Jero. Jero didakwa atas dugaan pelanggaran Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kasus ini, yang melibatkan hubungan suami-istri, berakhir dengan perdamaian dan kesepakatan untuk melanjutkan kehidupan bersama tanpa adanya dendam. Ketiga, Kejaksaan Negeri Flores Timur mengajukan permohonan serupa untuk tersangka Hendrikus Lusi Odjan alias Endi, atas pelanggaran serupa yang juga melibatkan hubungan suami-istri. Sama seperti kasus sebelumnya, perdamaian antara tersangka dan korban berhasil dicapai, menghasilkan keputusan untuk menghentikan proses penuntutan.
Permohonan penghentian penuntutan dari ketiga Kejaksaan Negeri tersebut telah disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum melalui Direktur E dan Direktur C Kejaksaan Agung RI. Beberapa pertimbangan mendasari persetujuan ini, termasuk status tersangka sebagai pelaku pertama kali, ancaman pidana yang tidak melebihi lima tahun, tercapainya perdamaian antara tersangka dan korban, serta hubungan keluarga antara tersangka dan korban. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah perilaku baik tersangka, dibuktikan dengan partisipasi aktif dalam kegiatan sosial masyarakat.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan kontribusi kepada masyarakat, ketiga tersangka diwajibkan untuk melaksanakan kerja sosial berupa pembersihan tempat ibadah dan balai desa. Tindakan ini merupakan bagian integral dari proses restorative justice, yang bertujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan dan memperbaiki hubungan antara pelaku dan korban, sekaligus memberikan kesempatan bagi tersangka untuk berkontribusi positif kepada komunitasnya. Langkah Kejati NTT ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi penegak hukum lainnya dalam menerapkan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian kasus pidana, khususnya yang melibatkan konflik antar pribadi dan memungkinkan adanya restorasi hubungan.
Keberhasilan penerapan restorative justice dalam ketiga kasus ini menunjukkan potensi pendekatan tersebut dalam menciptakan keadilan yang lebih restoratif dan berkelanjutan. Dengan fokus pada pemulihan dan rekonsiliasi, restorative justice menawarkan solusi yang lebih holistik dan manusiawi dibandingkan pendekatan hukum tradisional yang semata-mata berfokus pada hukuman. Implementasi yang konsisten dan efektif dari mekanisme RJ di berbagai tingkatan peradilan diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan korban dan pelaku.