Memahami Esensi Lailatul Qadar: Antara Makna Literal dan Simbolik
Esensi Lailatul Qadar: Mengupas Makna di Balik Malam Kemuliaan
Surah Al-Qadr, dengan redaksi yang begitu indah dan mendalam, mengundang kita untuk merenungkan makna Lailatul Qadar. Pertanyaan-pertanyaan kunci muncul dari penelaahan ayat-ayatnya: Mengapa digunakan kata ganti hu yang ditafsirkan sebagai Al-Qur'an atau Jibril? Mengapa penekanan pada al-qadr? Mengapa lailah (malam) dan bukan nahar (siang)? Untuk menjawabnya, kita perlu menyelami makna Lailatul Qadar dari berbagai perspektif.
Turunnya Al-Qur'an: Kalamullah dalam Bahasa Manusia
Ulama tafsir berpendapat bahwa pada Lailatul Qadar, Al-Qur'an diturunkan secara sekaligus (al-inzal) dari Lauh Mahfuz ke langit dunia. Kemudian, secara bertahap, Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sebelum menjadi Kalam al-Lafdz (firman yang terucap) dalam bahasa Arab, Al-Qur'an adalah Kalam al-Nafs atau Kalam al-Dzati (firman yang berada dalam zat Allah), yang tak terjangkau oleh akal manusia.
Analoginya, kitab-kitab suci sebelumnya seperti Taurat dan Injil juga diturunkan dalam bentuk Kalam al-Nafs sebelum diartikulasikan ke dalam bahasa Ibrani dan Suryani. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapakah yang mengartikulasikan Kalam al-Nafs ke dalam bahasa-bahasa tersebut? Apakah kitab-kitab itu sejak awal sudah berbahasa Ibrani dan Suryani, ataukah Malaikat Jibril yang berperan menerjemahkannya, ataukah para nabi yang menerimanya kemudian mengartikulasikannya ke dalam bahasa kaumnya? Hal ini masih menjadi perdebatan.
Al-Qur'an sendiri memberikan petunjuk tentang bagaimana Jibril menyampaikan wahyu dalam bahasa Arab yang jelas:
"Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." (QS. Asy-Syu'ara: 192-195)
Ayat lain mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an sejak awal sudah berbahasa Arab:
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya." (QS. Yusuf: 2)
Lailah: Lebih dari Sekadar Malam
Kata Lailah secara harfiah berarti malam. Namun, dalam tradisi sastra Arab, khususnya dalam syair, Lailah seringkali memiliki makna simbolik. Novel sufistik Laila Majnun karya Syekh Maulana Hakim Nidhami adalah contohnya. Dalam novel tersebut, Laila bukan hanya nama seorang perempuan, tetapi juga simbol cinta, keindahan, dan kerinduan.
Syair-syair cinta juga menggunakan kata lailah untuk melambangkan keintiman, kebahagiaan, dan kedalaman emosi. Dalam Lisan al-'Arab, kamus bahasa Arab standar, lailah tidak hanya berarti malam, tetapi juga kegelapan, keheningan, dan bahkan perempuan.
Menemukan Lailatul Qadar dalam Hati
Jika Lailatul Qadar adalah malam di mana Al-Qur'an diturunkan dan keberkahan melimpah, maka lailah dalam konteks ini bisa dimaknai secara simbolik. Bukan sekadar menunggu datangnya malam secara fisik, tetapi menciptakan suasana lailiyyah di dalam jiwa, yaitu keheningan, kepasrahan, keakraban, kedamaian, kerinduan, cinta kasih, dan kekhusyukan.
Suasana batin seperti ini tidak terbatas pada waktu malam. Keheningan dan kekhusyukan bisa hadir di siang hari, sementara kegelisahan dan amarah bisa menghantui malam. Oleh karena itu, esensi Lailatul Qadar adalah transformasi batin yang bisa terjadi kapan saja.
Keadilan Ilahi dan Lailatul Qadar di Seluruh Dunia
Jika Lailatul Qadar dihitung berdasarkan waktu malam di suatu wilayah, bagaimana dengan wilayah lain yang saat itu sedang siang? Misalnya, jika Lailatul Qadar terjadi pukul 02.00 dini hari di Indonesia, saat itu di Amerika Serikat masih pukul 14.00 siang. Allah SWT Maha Adil dan tidak membeda-bedakan hamba-Nya. Oleh karena itu, esensi Lailatul Qadar tidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu.
Melampaui Lailatul Qadar: Mencari Sang Pencipta
Bagi para sufi, mengejar Lailatul Qadar bukanlah tujuan utama. Lailatul Qadar, sebagaimana surga, adalah makhluk ciptaan Allah. Yang terpenting adalah mencari Allah, Sang Pencipta Lailatul Qadar dan surga. Dalam pelukan Sang Pencipta, keberadaan Lailatul Qadar dan surga menjadi tidak relevan. Esensi ibadah adalah mencapai kedekatan dengan Allah, melampaui segala bentuk materi dan waktu.