Thailand Siapkan Strategi Negosiasi Hadapi Kebijakan Tarif Impor Baru AS Era Trump

Thailand Bergerak Cepat Atasi Dampak Tarif Impor AS

Pemerintah Thailand mengambil langkah proaktif dalam menanggapi kebijakan tarif impor baru yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump. Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menegaskan komitmennya untuk melakukan negosiasi intensif dengan pihak Amerika Serikat guna meminimalkan dampak negatif terhadap perekonomian Thailand. Pernyataan ini muncul setelah pengumuman tarif impor luas yang ditujukan kepada berbagai negara, termasuk Thailand.

Shinawatra meyakinkan publik bahwa pemerintah telah menyiapkan serangkaian langkah strategis untuk menghadapi situasi ini. Salah satunya adalah dengan mengirimkan perwakilan khusus untuk berdialog langsung dengan pemerintah AS. "Kami tidak akan membiarkan situasi ini mengganggu target PDB kami. Kami memiliki rencana yang matang dan siap diimplementasikan," tegas Shinawatra, seperti dikutip dari Bangkok Post.

Fokus pada Negosiasi Konstruktif

Wakil Menteri Keuangan Thailand, Julapun Amornvivat, menambahkan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya terkejut dengan pengenaan tarif ini, meskipun besaran 36 persen melebihi ekspektasi awal. Amornvivat menekankan pentingnya negosiasi yang konstruktif dan berbasis pada pemahaman bersama. "Kita perlu bernegosiasi dengan kepala dingin, bukan dengan pendekatan agresif. Kita perlu mengidentifikasi produk-produk yang dianggap tidak adil oleh AS dan mencari solusi yang saling menguntungkan," ujarnya.

Data menunjukkan bahwa surplus perdagangan Thailand dengan AS mencapai 45 miliar dollar AS pada tahun 2024. Pemerintah Thailand telah mengantisipasi potensi tindakan proteksionis dari AS dengan mengadopsi strategi wait and see dan berupaya meningkatkan impor energi serta produk makanan dari AS untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.

Dampak dan Respon Industri

Amerika Serikat merupakan pasar ekspor utama bagi Thailand, dengan komoditas seperti barang elektronik, mesin, dan produk pertanian mendominasi daftar ekspor. Ketua Kamar Dagang Thailand, Poj Aramwattananont, menyatakan bahwa tarif impor sebesar 36 persen yang dikenakan oleh AS lebih tinggi dari perkiraan pelaku bisnis. Ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan perundingan guna mencari solusi terbaik.

Aramwattananont juga mengimbau para pelaku bisnis untuk tidak panik, karena negara-negara lain juga menghadapi situasi serupa. Ia meyakini bahwa AS juga akan merasakan dampak dari kebijakan tarif ini, karena belum mampu sepenuhnya menggantikan impor dengan produksi dalam negeri.

Proyeksi Ekonomi dan Sentimen Pasar

Analis dari InnovestX Securities memperkirakan bahwa pengenaan tarif timbal balik dapat memangkas pertumbuhan PDB Thailand sebesar 1,2 poin persentase dari proyeksi awal 2,5 persen. Mereka juga memprediksi potensi pemotongan suku bunga oleh Bank of Thailand (BoT) sebagai upaya untuk menopang ekonomi, meskipun dampaknya mungkin terbatas.

Thailand termasuk dalam daftar negara-negara yang berpotensi terkena dampak signifikan dari kebijakan tarif Trump. Saat ini, tarif rata-rata AS untuk impor dari Thailand adalah 2 persen, sementara Thailand mengenakan tarif rata-rata 8 persen untuk produk-produk AS.

Sentimen pasar di Asia Tenggara turut terpengaruh oleh pengumuman tarif ini. Mata uang dan indeks saham di kawasan ini mengalami penurunan. Baht Thailand melemah terhadap dollar AS, diikuti oleh ringgit Malaysia dan won Korea Selatan. Indeks saham Singapura dan Malaysia juga mengalami penurunan.

Dampak Regional dan Antisipasi Investor

Para analis dari ING Bank, Padhraic Garvey dan Francesco Pesole, menyatakan bahwa negara-negara berkembang di Asia merupakan wilayah yang paling terpukul oleh pengumuman tarif ini. Mereka memprediksi peningkatan penghindaran risiko global dan penurunan suku bunga pasar sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut.

Selain Thailand, negara-negara lain di Asia Tenggara juga menghadapi peningkatan tarif impor oleh AS, seperti Vietnam (46 persen) dan Indonesia (32 persen). China menjadi target utama dengan tarif kumulatif sebesar 54 persen.

Saat ini, para investor tengah menunggu respon dari negara-negara yang terkena dampak tarif, yang berpotensi meningkatkan ketegangan perdagangan global. Sementara beberapa negara seperti Australia telah mengesampingkan pembalasan, investor mengamati dengan seksama langkah-langkah yang akan diambil oleh negara-negara seperti China.

Kebijakan tarif impor AS ini menjadi tantangan baru bagi Thailand dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kemampuan pemerintah Thailand untuk bernegosiasi secara efektif dan mengimplementasikan strategi mitigasi yang tepat akan menjadi kunci untuk meminimalkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional.