Gelombang Tarif Trump Mengguncang Ekonomi Global, Indonesia Terancam Resesi?
Trump Umumkan Tarif Baru, Indonesia Terancam PHK Massal di Sektor Alas Kaki
Pada tanggal 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, mengumumkan kebijakan tarif baru yang kontroversial. Trump menyebut kebijakan ini sebagai "Liberation Day" atau Hari Pembebasan bagi Amerika, yang bertujuan untuk membebaskan negaranya dari praktik perdagangan yang dianggap merugikan.
Dalam pidatonya di Gedung Putih, Trump menegaskan bahwa dalam banyak kasus, terutama dalam hal perdagangan, mitra bisa menjadi lebih buruk daripada lawan. Pernyataan ini mengisyaratkan perubahan signifikan dalam kebijakan perdagangan AS yang berdampak luas bagi mitra dagang di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dampak Tarif Baru Bagi Indonesia
Indonesia termasuk dalam daftar negara yang terkena dampak signifikan dari kebijakan ini. Produk ekspor Indonesia, terutama dari sektor alas kaki, dikenai tarif impor sebesar 32 persen. Langkah ini mengancam stabilitas ekonomi Indonesia dan berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor-sektor yang bergantung pada ekspor ke AS.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat pada tahun 2024 mencapai 27,6 miliar dollar AS, sementara impor dari AS sebesar 10,4 miliar dollar AS. Indonesia mencatatkan surplus sebesar 17,2 miliar dollar AS. Ironisnya, surplus inilah yang menjadi alasan bagi AS untuk menjatuhkan "hukuman" dagang, alih-alih mengakui keberhasilan hubungan ekonomi bilateral.
Surplus perdagangan ini, dalam konteks relasi ekonomi global yang timpang, bisa jadi hanyalah ilusi kemandirian ekonomi. Di sektor alas kaki, misalnya, lebih dari 45 persen ekspor ditujukan ke pasar AS. Sektor ini menyerap sekitar 3,6 juta tenaga kerja di Indonesia, dengan konsentrasi industri di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, memperingatkan bahwa tarif 32 persen akan menyebabkan penurunan pesanan dan penyesuaian harga yang memakan waktu setidaknya enam bulan. Eddy juga mengatakan "Artinya enam bulan ke depan, purchase order akan mengecil dan bisa mengakibatkan ekspor ke Amerika turun, yang berimbas pada pengecilan produksi dan mungkin PHK”.
Reaksi Global dan Respon Indonesia
Kebijakan tarif baru Trump memicu gelombang reaksi keras dari berbagai negara. Uni Eropa, yang dikenai tarif 20 persen, menyebut kebijakan ini sebagai "pukulan besar bagi ekonomi global". Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, memperingatkan bahwa langkah ini akan memicu eskalasi proteksionisme dan merusak stabilitas pasar dunia.
Vietnam dan Thailand, yang masing-masing dikenai tarif 46 persen dan 36 persen, mengalami dampak instan. Bursa saham Vietnam anjlok hingga 7 persen setelah pengumuman tersebut. Pemerintah Thailand menyebut kebijakan AS ini "tidak adil dan melemahkan semangat perdagangan bebas yang selama ini dibangun bersama."
Bahkan Australia, negara yang relatif tidak terdampak, mengkritik langkah ini sebagai kebijakan sepihak yang merugikan konsumen AS sendiri. Perdana Menteri Anthony Albanese menyebut kebijakan itu sebagai “Ini bukan kebijakan ekonomi, ini kampanye dalam bentuk lain”.
Di tengah keriuhan global, respon Indonesia terkesan lambat dan normatif. Pemerintah hanya menyatakan akan "menjajaki komunikasi" dengan mitra AS. Pernyataan ini mengindikasikan sikap pasrah, seolah-olah tarif yang melonjak tiga kali lipat dapat dinegosiasikan hanya dengan pendekatan diplomatis.
Momentum untuk Perubahan Strategi Ekonomi
Kebijakan tarif baru Trump menjadi peringatan bagi Indonesia. Selama ini, Indonesia percaya bahwa menjadi bagian dari sistem global, WTO, dan rezim pasar bebas adalah jalan menuju kemandirian ekonomi. Namun, kini terungkap bahwa "kemerdekaan" itu bisa dibatalkan oleh satu pidato dari Gedung Putih.
Ketergantungan pada satu pasar membuat Indonesia rentan terhadap satu keputusan. Dunia sedang berubah, dan proteksionisme bangkit di berbagai belahan. Sawit Indonesia dibatasi Eropa, dan nikel dikenai bea masuk oleh India. Pertanyaannya, di mana posisi Indonesia?
Apakah Indonesia akan terus menggantungkan nasib jutaan buruh pada kebijakan yang dibuat di luar kendali? Ataukah ini momentum untuk merevisi strategi ekonomi nasional, beralih dari ketergantungan pada ekspor murah, menuju fondasi yang dibangun atas nilai tambah, daya saing, dan martabat?
Langkah-Langkah Konkret yang Harus Dilakukan
Untuk mengatasi dampak kebijakan tarif baru Trump, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkret:
- Diversifikasi Pasar Ekspor: Memperluas jangkauan ekspor ke negara-negara non-tradisional seperti Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin.
- Negosiasi Bilateral dan Kolektif: Mengaktifkan kembali jalur negosiasi melalui forum WTO maupun ASEAN untuk menekan kebijakan tarif sepihak AS.
- Transformasi Industri: Mendorong sektor alas kaki dan tekstil keluar dari perangkap original equipment manufacturer (OEM) menuju original brand manufacturer (OBM), membangun merek dan martabat.
- Insentif Fiskal dan Pelatihan Ulang: Memberikan insentif dan pelatihan bagi industri terdampak agar tetap bertahan.
- Penguatan Infrastruktur Industri: Memperbaiki logistik, pelabuhan, energi, dan perizinan untuk meningkatkan daya saing biaya produksi.
Trump mungkin menaikkan papan tarif, tetapi Indonesia harus bercermin. Mungkin yang paling perlu dibebaskan bukanlah Amerika dari defisitnya, tetapi Indonesia dari ilusi bahwa kita telah berdiri dengan kaki sendiri.