Efisiensi Anggaran Pemerintah Picu Krisis di Industri Perhotelan Bintang Empat dan Lima
Efisiensi Anggaran Pemerintah Picu Krisis di Industri Perhotelan Bintang Empat dan Lima
Industri perhotelan di Indonesia, khususnya hotel bintang empat dan lima, tengah menghadapi badai krisis akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Survei Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) terhadap 312 hotel di seluruh Indonesia mengungkapkan penurunan tingkat hunian yang signifikan, mencapai rata-rata 35 persen. Hal ini berdampak pada kerugian finansial yang cukup besar, diperkirakan mencapai Rp500 juta hingga Rp3 miliar per bulan untuk hotel bintang lima, dan Rp500 juta hingga Rp1 miliar untuk hotel bintang empat. Kerugian tersebut bukan hanya berasal dari penurunan okupansi kamar, namun lebih signifikan diakibatkan oleh minimnya penyelenggaraan acara Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE).
Penurunan drastis aktivitas MICE, yang biasanya menjadi sumber pendapatan utama bagi hotel berbintang, menjadi pukulan telak bagi sektor perhotelan. Ketua Umum IHGMA, I Gede Arya Pering, menjelaskan bahwa idealnya, kontribusi pendapatan dari okupansi kamar dan MICE seimbang (50:50). Namun, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah telah mengakibatkan ruang rapat di banyak hotel menjadi kosong melompong. Wakil Ketua Umum IHGMA, Garna Sobhara Swara, mencontohkan The 1O1 Jakarta Sedayu Darmawangsa, salah satu hotel bintang empat yang terdampak parah. Hotel tersebut memiliki 10 ruang rapat dengan kapasitas total 200 orang, namun kini semuanya kosong. Situasi ini menggambarkan dampak domino dari kebijakan pemerintah yang berimbas pada sektor bisnis terkait, termasuk industri perhotelan.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Umum IHGMA lainnya, Wita Jacob, menambahkan bahwa hotel bintang empat paling terdampak karena memiliki convention room paling luas dan jumlah kamar yang lebih banyak dibandingkan hotel bintang tiga. Dampak dari penurunan pendapatan ini pun mengancam keberlangsungan usaha hotel dan karyawannya. Potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), khususnya bagi pekerja harian atau kasual, menjadi ancaman nyata. Pekerja kasual, yang upahnya dibayarkan per hari atau per acara, akan menjadi kelompok pertama yang terkena dampak penurunan permintaan jasa hotel. Untuk menghemat pengeluaran, beberapa hotel bahkan telah memutuskan untuk mematikan daya listrik di ruang rapat dan mengurangi jumlah pekerja kasual yang dipekerjakan.
IHGMA pun telah menyampaikan sejumlah usulan kepada pemerintah untuk meringankan dampak negatif efisiensi anggaran. Usulan tersebut antara lain berupa insentif pengurangan pajak hotel, penerapan efisiensi secara bertahap untuk memungkinkan evaluasi, program subsidi atau bantuan keuangan langsung, dan relaksasi kebijakan operasional hotel. IHGMA menekankan urgensi penanganan masalah ini, dengan mengingatkan potensi terulangnya situasi seperti masa pandemi Covid-19 jika kondisi ini dibiarkan berlanjut. Mereka khawatir, jika efisiensi anggaran terus berlanjut, akan memaksa hotel untuk mengambil langkah-langkah drastis, seperti memberlakukan unpaid leave bagi karyawan kontrak dan tidak memperpanjang kontrak sejumlah posisi di hotel. Kondisi ini akan berdampak sangat luas bagi perekonomian nasional.
Situasi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan stakeholder terkait untuk mencari solusi yang tepat dan menyelamatkan industri perhotelan Indonesia dari krisis yang mengancam.