Rupiah Tertekan Perang Dagang: Analis Prediksi Level Kritis Rp 17.000 Per Dolar AS

Rupiah Tertekan Perang Dagang: Analis Prediksi Level Kritis Rp 17.000 Per Dolar AS

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menghadapi tekanan berat, dengan beberapa analis memprediksi kemungkinan menembus level psikologis Rp 17.000. Sentimen negatif ini terutama dipicu oleh eskalasi perang dagang global, yang diperparah oleh kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump. Kebijakan ini, yang berdampak luas terhadap berbagai negara termasuk Indonesia, dinilai memberikan tekanan signifikan terhadap mata uang Garuda.

Dinamika Pasar Terkini

Pada perdagangan terakhir, berdasarkan data Bloomberg, nilai dolar AS berada di kisaran Rp 16.745, menunjukkan tren penguatan. Proyeksi dari pengamat mata uang, Ibrahim Assuabi, menunjukkan bahwa jika level Rp 16.900 berhasil ditembus, maka bukan tidak mungkin rupiah akan melanjutkan pelemahannya hingga mencapai Rp 17.000. Menurutnya, perang dagang adalah faktor dominan yang memicu volatilitas rupiah, mengalahkan pengaruh fluktuasi dolar AS seperti sebelum adanya konflik perdagangan.

"Kemungkinan besar kalau standarnya Rp 16.900 tembus, kemungkinan di Rp 17.000. Ya itu syaratnya itu ya di Rp 16.900 kena dulu. Untuk saat ini pelemahan mata uang rupiah itu disebabkan oleh perang dagang," ujar Ibrahim.

Strategi Pemerintah dan Bank Indonesia

Menghadapi tekanan ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diharapkan mengambil langkah-langkah strategis untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Ibrahim Assuabi menekankan pentingnya intervensi BI di pasar valuta asing, bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta melakukan lelang obligasi dan valuta asing melalui instrumen Domestic Non Deliverable Forward (DNDF). Langkah-langkah ini bertujuan untuk meredam volatilitas dan menjaga kepercayaan pasar.

Selain intervensi pasar, Ibrahim juga merekomendasikan pemberian stimulus kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta koperasi, yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Stimulus ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dan mengurangi ketergantungan pada faktor eksternal. Pemberian bantuan sosial (bansos) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) juga dinilai penting untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi.

Lebih lanjut, Ibrahim menekankan perlunya diversifikasi pasar ekspor dengan mencari mitra dagang baru di negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) maupun negara-negara lain di luar blok tersebut. Diversifikasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan dampak geopolitik yang memanas dan tensi perang dagang yang berkelanjutan.

Harapan dan Tantangan

Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, juga mengakui bahwa kebijakan tarif impor Trump memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Meskipun demikian, ia melihat adanya peluang negosiasi ulang yang dapat memberikan sentimen positif bagi pasar. Ariston memperkirakan rupiah masih rentan melemah ke kisaran Rp 16.800-17.000, namun juga memiliki potensi menguat ke level Rp 16.300-16.200.

Ariston berharap pemerintah dapat mengatasi isu-isu internal seperti penurunan daya beli, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan defisit anggaran. Pengelolaan isu-isu ini dengan baik dapat meningkatkan keyakinan investor dan mendukung penguatan rupiah. Selain itu, ia berharap BI dapat menahan pelemahan rupiah melalui intervensi yang tepat dan tidak mengeluarkan kebijakan moneter yang longgar untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Kesimpulan

Tekanan terhadap nilai tukar rupiah merupakan tantangan serius yang memerlukan respons komprehensif dari pemerintah dan Bank Indonesia. Kombinasi intervensi pasar, stimulus ekonomi, diversifikasi pasar ekspor, dan pengelolaan isu-isu internal diharapkan dapat meredam volatilitas dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian ekonomi global.