Polemik Larangan Study Tour: Antara Tekanan Biaya dan Penggerak Pariwisata Lokal
Kontroversi Larangan Study Tour di Tengah Upaya Peningkatan Pariwisata Domestik
Kebijakan pelarangan study tour oleh beberapa pemerintah daerah di Indonesia menuai pro dan kontra. Keputusan ini didorong oleh keluhan masyarakat terkait tingginya biaya yang dibebankan kepada orang tua siswa. Namun, di sisi lain, larangan ini dikhawatirkan berdampak negatif pada industri pariwisata.
Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, termasuk salah satu kepala daerah yang menerapkan larangan study tour dengan alasan meringankan beban biaya orang tua. Langkah ini mengikuti jejak Jawa Barat, yang sebelumnya telah menolak program study tour. Gubernur Jawa Barat saat itu, Dedi Mulyadi, bahkan menonaktifkan Kepala SMAN 6 Depok karena melanggar surat edaran yang melarang study tour ke luar provinsi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga berupaya memberantas pungutan liar berkedok karya wisata.
"Ini kinerja saya pertama ingin membenahi manajemen di kependidikan di Provinsi Jawa Barat, karena kan isu PIP (Program Indonesia Pintar), pungutan, study tour, itu isu yang begitu meresahkan masyarakat di Jawa Barat," ungkap Dedi Mulyadi kala itu.
Senada dengan hal tersebut, Gubernur Banten, Andra Soni, juga melarang sekolah-sekolah di wilayahnya mengadakan study tour ke luar daerah. Ia menekankan bahwa tujuan pendidikan berbeda dengan tujuan wisata.
Dukungan untuk Pariwisata Lokal
Pemerintah Pusat melalui Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa, berharap kebijakan pelarangan study tour dapat menggerakkan sektor pariwisata di daerah. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat berwisata di wilayahnya sendiri.
"Saya juga sudah mendengar itu, kita berupaya berkomunikasi dengan Pemda terkait larangan itu, tapi yang jelas mudah-mudahan juga itu bisa menggerakkan wisata di wilayah itu, jadi nggak keluar di sana jadi mudah-mudahan masyarakat ya berwisata di daerah itu saja," kata Puspa.
Kritik terhadap Larangan Study Tour
Namun, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, mengkritik kebijakan ini dan menyebutnya sebagai "salah kaprah". Menurutnya, jika masalahnya adalah biaya, solusinya adalah mengevaluasi operator wisata. Jika masalahnya adalah kecelakaan bus, solusinya adalah regulasi yang jelas tentang sistem transportasi.
"Kalau yang salah itu dipandang adalah operator transportasi daratnya yang yang dipenalti, bukannya program study tour yang dipermasalahkan," tegas Hariyadi.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, juga menyoroti pentingnya keamanan transportasi selama study tour. Ia mendorong sekolah untuk memastikan kualitas keamanan transportasi dari mitra yang dipilih.
"Dalam menentukan mitra dalam study tour, tolonglah dipastikan betul. Terutama menyangkut mitra transportasinya karena banyak kecelakaan terjadi itu karena mungkin sekolah itu tidak menyewa atau bermitra dengan lembaga-lembaga atau organisasi transportasi yang berkualitas," imbuh Mu'ti.
Dampak pada Pariwisata dan Alternatif Liburan
Larangan study tour memicu diskusi tentang dampak ekonomi dan sosial. Di satu sisi, larangan ini bertujuan melindungi orang tua dari beban biaya tinggi. Di sisi lain, industri pariwisata berpotensi kehilangan pendapatan dari kegiatan study tour. Pemerintah daerah dan pusat perlu mencari solusi yang seimbang, seperti memberikan subsidi atau menawarkan paket wisata pendidikan yang terjangkau.
Di tengah polemik ini, masyarakat dapat mencari alternatif liburan lain, seperti mengunjungi tempat wisata di daerah sendiri atau mengikuti kegiatan edukatif di museum dan pusat sains. Beberapa daerah menawarkan wisata sejarah dan alam yang menarik. Misalnya, Benteng Pendem di Jawa Timur atau obyek wisata tersembunyi di Bandung, yang menawarkan pengalaman berlibur yang unik dan berkesan.