Indonesia Pilih Bungkam di Tengah Gelombang Kecaman Global Terhadap Tarif Dagang Kontroversial AS

Indonesia Dihadapkan pada Tekanan Internasional Akibat Sikap 'Wait and See' Terkait Tarif AS

Jakarta – Pemerintah Indonesia masih belum memberikan pernyataan resmi terkait kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan dan sorotan, mengingat negara-negara lain seperti China dan Australia telah secara terbuka mengecam dan memprotes kebijakan tersebut.

Ketidakjelasan sikap Indonesia ini terlihat dari belum adanya pernyataan resmi dari pejabat terkait hingga hari Jumat (4/4/2025). Upaya konfirmasi dari berbagai media, termasuk Kompas.com, kepada Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana, belum membuahkan hasil.

Kontras dengan Reaksi Global

Keheningan Indonesia ini sangat kontras dengan reaksi keras yang datang dari berbagai pemimpin dunia. Kebijakan tarif yang diumumkan oleh Presiden AS tersebut menuai kecaman dan protes dari berbagai pihak.

Pemerintah Indonesia sebelumnya sempat menjadwalkan konferensi pers pada Kamis (3/4/2025) untuk memberikan tanggapan resmi. Namun, acara tersebut ditunda dengan alasan perlunya kajian mendalam terhadap kebijakan yang dianggap sangat teknis dan mencakup berbagai komoditas. Konferensi pers tersebut rencananya akan dihadiri oleh sejumlah menteri kunci, termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Menteri Luar Negeri Sugiono, dan Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza.

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Kementerian Keuangan mengindikasikan bahwa penanganan isu ini akan dikoordinasikan langsung oleh Kemenko Perekonomian. Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengakui bahwa kebijakan tarif AS berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia. Pemerintah juga disebut telah menjalin komunikasi dengan Malaysia, selaku pemegang keketuaan ASEAN, mengingat dampak kebijakan tersebut dirasakan oleh seluruh negara anggota.

Strategi yang Disiapkan Pemerintah

Sejak awal tahun 2025, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menghadapi potensi dampak kebijakan tarif AS. Langkah-langkah tersebut meliputi:

  • Pengiriman delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS.
  • Penyusunan jawaban atas laporan National Trade Estimate (NTE) 2025 dari US Trade Representative.
  • Komitmen untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional, termasuk nilai tukar rupiah dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN), bersama Bank Indonesia.

Menteri Perdagangan Budi Santoso, melalui akun Instagram resminya, menginformasikan bahwa rapat koordinasi telah dilakukan pada tanggal 2 April 2025 untuk membahas respons terhadap tarif AS. Rapat tersebut dihadiri oleh sejumlah menteri dan pejabat terkait. Namun, hasil dari rapat tersebut belum dipublikasikan secara terbuka.

Deputi Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Noudhy Valdryno mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo telah menyiapkan tiga strategi utama untuk menghadapi gejolak global, termasuk kebijakan tarif AS. Strategi tersebut mencakup:

  • Penguatan perdagangan internasional.
  • Optimalisasi sumber daya alam (SDA) dalam negeri.
  • Peningkatan konsumsi domestik.

Kecaman Internasional Menguat

Sementara itu, gelombang kecaman terhadap kebijakan tarif AS terus menguat dari berbagai belahan dunia. Perdana Menteri Kanada Mark Carney menyatakan akan melawan kebijakan tersebut. Komisi Eropa menilai kebijakan tersebut sebagai pukulan bagi ekonomi global. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menyebut tarif tersebut tidak memiliki dasar dan bertentangan dengan semangat kemitraan. China juga secara tegas mengecam kebijakan tersebut, mendesak AS untuk mencabutnya, dan menyatakan kesiapannya untuk mengambil tindakan balasan.

Tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap Indonesia ditetapkan sebesar 32 persen dan dijadwalkan mulai berlaku pada tanggal 9 April 2025. Sikap diam Indonesia di tengah tekanan global ini menimbulkan pertanyaan tentang strategi dan prioritas pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks.