Tragedi Myanmar: Gempa Bumi Mengungkapkan Krisis Kemanusiaan di Tengah Puing dan Aroma Maut

Myanmar Terluka: Kisah Pilu dari Balik Reruntuhan Gempa

Gempa bumi dahsyat yang mengguncang Myanmar telah menyisakan luka mendalam, bukan hanya pada bangunan fisik, tetapi juga pada jiwa para penduduknya. Lebih dari sekadar bencana alam, gempa ini telah mengungkap krisis kemanusiaan yang kompleks, di mana bau mayat membusuk menjadi aroma yang mendominasi jalanan, dan perebutan air bersih serta makanan menjadi perjuangan hidup sehari-hari.

Ko Zeyer, seorang warga Sagaing, berbagi kisah tentang jembatan yang hancur dan bangunan yang rata dengan tanah. Meski ia bersyukur keluarganya selamat, kesedihan mendalam menyelimutinya atas kehilangan teman-teman dan kehancuran kota tercinta. Di bawah reruntuhan, masih banyak yang terperangkap, menambah daftar panjang 3.145 jiwa yang telah dipastikan meninggal dunia seminggu setelah gempa mengguncang.

"Bau mayat telah memenuhi kota," ungkap Ko Zeyer, seorang pekerja sosial yang menyaksikan langsung dampak mengerikan dari gempa ini. Laporan lain menggambarkan upaya putus asa untuk menguburkan jenazah dalam kuburan massal, sebuah pemandangan yang semakin menambah suramnya suasana.

Perjuangan untuk Bertahan Hidup: Air dan Makanan Menjadi Barang Langka

Di tengah reruntuhan dan kesedihan, para korban gempa harus berjuang untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Antrean panjang mengular untuk mendapatkan makanan dan air bersih. Banyak dari mereka terpaksa tidur di luar ruangan, hanya beralaskan tikar tipis, di tengah suhu yang mencapai 37 derajat Celcius, sementara gempa susulan terus mengancam.

"Hampir seluruh kota tinggal dan tidur di jalan, lapangan, atau lapangan bola, termasuk saya sendiri. Karena itu sangat menakutkan," kata Ko Zeyer, menggambarkan ketakutan yang menghantui setiap orang. Bahkan tidurnya pun dilakukan di depan pintu, agar bisa segera melarikan diri jika gempa susulan kembali mengguncang.

Sagaing: Kota yang Luluh Lantak

Kyaw Min, seorang pekerja sukarelawan, menggambarkan Sagaing sebagai kota mati, sebuah pemandangan yang mengingatkan pada kota yang dibom atom. Rumah-rumah, sekolah, kuil, masjid, dan toko-toko hancur lebur, meninggalkan puing-puing yang berserakan di mana-mana.

Gempa bumi ini tidak hanya menghancurkan Sagaing, tetapi juga menyebabkan kerusakan luas di dekat Mandalay, kota dengan populasi sekitar 1,5 juta jiwa, dan ibu kota militer Naypyidaw. Getaran gempa bahkan terasa hingga ke negara tetangga, Thailand dan China, menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan alam yang menghantam Myanmar.

Upaya Penyelamatan yang Terhambat

Selama berhari-hari, Kyaw Min dan tim penyelamat lainnya telah menggali puing-puing dengan tangan kosong atau peralatan seadanya, berpacu dengan waktu untuk mencari korban selamat. Mereka berhasil menyelamatkan beberapa orang, tetapi juga menemukan banyak mayat, termasuk anak-anak dan orang tua, dalam kondisi yang mengenaskan.

"Kami menemukan banyak mayat, termasuk anak-anak dan orang tua. Mayat tanpa kepala, tangan, atau kaki, kami telah mengalami pengalaman yang sangat mengerikan," kata Kyaw Min, menggambarkan trauma mendalam yang dialaminya.

Menurut Kyaw Min, sekitar 80 persen kota Sagaing rusak parah, dan kerusakan juga meluas ke kota-kota pedesaan di sekitarnya. Jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota dan desa-desa terpencil rusak parah, menghambat upaya penyelamatan dan pengiriman bantuan, termasuk alat berat seperti ekskavator dan backhoe.

"Misi penyelamatan atau bantuan tidak dapat segera tiba di Sagaing. Jembatan yang menghubungkan Sagaing rusak parah," jelas Ko Zeyer, mengungkapkan keputusasaan atas lambatnya bantuan yang datang. "Itu sebabnya, banyak yang kehilangan nyawa. Sudah terlambat untuk menyelamatkan orang-orang saat bantuan tiba," pungkasnya dengan nada getir.

Tragedi di Myanmar ini adalah pengingat yang menyakitkan tentang betapa rentannya manusia di hadapan kekuatan alam. Lebih dari itu, ini adalah seruan mendesak untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban gempa, agar mereka dapat membangun kembali kehidupan mereka dari puing-puing dan aroma maut.