Di Tengah Gelombang Protes Global, Indonesia Timbang Dampak Tarif Trump: Sikap 'Wait and See' Tuai Kritik
Indonesia Hadapi Tekanan Tarif Trump: Antara Perhitungan Cermat dan Kritik Penundaan Respons
Kebijakan Reciprocal Tariffs atau yang dikenal sebagai Tarif Trump yang diterapkan Amerika Serikat terhadap lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia, sebesar 32 persen, menuai sorotan tajam. Sementara berbagai negara bereaksi keras, Indonesia menunjukkan sikap yang lebih hati-hati, memicu perdebatan tentang urgensi dan strategi respons yang tepat.
Pemerintah Tunda Konferensi Pers, Pilih Kajian Mendalam
Pemerintah Indonesia baru memberikan respons melalui rilis tertulis Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), yang menyoroti potensi dampak signifikan tarif tersebut terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS. Sektor-sektor kunci seperti elektronik, tekstil, alas kaki, minyak kelapa sawit, karet, udang, dan produk perikanan laut sangat rentan terhadap kebijakan ini.
Rencananya, pemerintah akan menghitung dampak tarif terhadap sektor-sektor tersebut dan ekonomi nasional secara keseluruhan, serta menyiapkan langkah-langkah strategis untuk mitigasi dampak negatif. Komunikasi dengan pemerintah AS terus dilakukan, termasuk rencana pengiriman delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk negosiasi langsung.
Namun, yang menarik perhatian adalah penundaan konferensi pers yang sedianya akan dihadiri oleh sejumlah menteri penting. Pemerintah beralasan, penundaan ini diperlukan untuk memberikan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif terkait kebijakan tarif yang kompleks ini. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) menekankan perlunya pembahasan lebih lanjut di tingkat kementerian dan lembaga.
Kritik atas Sikap 'Pembiaran' dan Kekosongan Posisi Dubes
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, mengkritik keras sikap pemerintah yang dianggap lambat dalam merespons kebijakan tarif Trump. Menurutnya, pembatalan konferensi pers mengindikasikan adanya pembiaran dan kurangnya kesadaran akan urgensi masalah ini.
Andry juga menyoroti kekosongan posisi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat selama hampir dua tahun. Kekosongan ini dinilai menghambat upaya diplomasi yang efektif dengan pemerintah AS, terutama dalam situasi yang penuh tantangan seperti saat ini. Ia mempertanyakan apakah Amerika Serikat dianggap bukan mitra dagang potensial atau strategis oleh pemerintah Indonesia.
Reaksi Global: China dan Australia Mengecam Tarif Trump
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara lain seperti China dan Australia telah melancarkan protes keras terhadap kebijakan tarif Trump.
- China mengecam tarif tambahan sebesar 34 persen dan berjanji akan mengambil langkah balasan untuk melindungi kepentingannya. Pemerintah China menilai kebijakan ini mengabaikan kesepakatan multilateral yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
- Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menyebut tarif timbal balik 10 persen sebagai tindakan yang tidak berdasar dan bertentangan dengan prinsip kemitraan antara kedua negara.
Situasi ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang unik. Di satu sisi, pemerintah berupaya melakukan perhitungan yang cermat dan menyiapkan respons yang terukur. Di sisi lain, sikap yang terkesan lambat ini menuai kritik dan kekhawatiran tentang potensi dampaknya terhadap perekonomian nasional. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah Indonesia dapat menyeimbangkan antara kehati-hatian dan respons yang tegas dalam menghadapi tekanan perdagangan global ini?