Kontroversi Penetapan Tarif Impor AS: Benarkah ChatGPT Jadi Penentu Kebijakan?

Kontroversi Penetapan Tarif Impor AS: Benarkah ChatGPT Jadi Penentu Kebijakan?

Kebijakan tarif impor terbaru yang digagas oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memicu perdebatan sengit. Kebijakan ini, yang mencakup pengenaan tarif 32% untuk impor dari Indonesia, menimbulkan pertanyaan besar mengenai dasar perhitungan yang digunakan. Sejumlah ekonom dan warganet menduga bahwa algoritma kecerdasan buatan (AI), khususnya model bahasa besar seperti ChatGPT, mungkin terlibat dalam proses penetapan tarif tersebut.

Rumus Perhitungan Tarif yang Janggal

James Surowiecki, seorang pakar ekonomi terkemuka, mencoba mengungkap logika di balik tarif baru ini. Analisisnya menunjukkan bahwa Gedung Putih diduga menghitung tarif dengan membagi defisit perdagangan suatu negara dengan Amerika Serikat (AS) dengan total ekspor negara tersebut ke AS. Hasilnya kemudian dibagi dua, seolah-olah menerapkan "diskon" pada tarif yang dihasilkan.

Sebagai contoh, Surowiecki mengilustrasikan bahwa AS mengalami defisit perdagangan sebesar USD 17,9 miliar dengan Indonesia, sementara ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 28 miliar. Dengan menggunakan rumus tersebut, diperoleh angka 64%, yang kemudian diklaim Trump sebagai tarif yang dikenakan Indonesia terhadap impor dari AS. Angka ini lalu dibagi dua, menghasilkan tarif impor baru sebesar 32% untuk produk Indonesia.

Bantahan Gedung Putih dan Kemiripan yang Mencurigakan

Gedung Putih membantah tudingan Surowiecki dan mengklaim menggunakan rumus yang berbeda untuk menentukan tarif impor. Namun, laporan dari Politico mengungkapkan bahwa rumus yang dikemukakan Gedung Putih sangat mirip dengan metode perhitungan yang diuraikan Surowiecki. Kemiripan ini semakin memperkuat spekulasi mengenai keabsahan dan transparansi proses penetapan tarif.

Dugaan Keterlibatan Chatbot AI

Spekulasi liar kemudian berkembang di media sosial. Sejumlah warganet menduga bahwa perhitungan tarif tersebut berasal dari chatbot AI. Pengguna platform X dan Bluesky melakukan eksperimen dengan meminta ChatGPT, Gemini, Claude, dan Grok untuk mencari cara mudah mengatasi defisit perdagangan dan menciptakan kondisi persaingan yang setara bagi AS.

Menariknya, keempat chatbot AI tersebut secara konsisten memberikan jawaban yang serupa, yaitu rumus "defisit perdagangan dibagi ekspor." Meskipun terdapat beberapa variasi, Grok dan Claude bahkan menyarankan untuk membagi dua nilai tarif yang dihasilkan, sejalan dengan ide "diskon" tarif yang diterapkan oleh Trump.

Peringatan dari AI dan Implikasi Kebijakan

Namun, tidak semua jawaban dari chatbot AI mendukung ide tersebut tanpa syarat. ChatGPT memperingatkan bahwa metode perhitungan yang sederhana ini tidak memperhitungkan kompleksitas dinamika perdagangan internasional. Claude juga mengingatkan bahwa defisit perdagangan bukanlah satu-satunya indikator perdagangan yang tidak sehat, dan tarif memiliki konsekuensi ekonomi yang kompleks dan luas.

Misteri yang Belum Terpecahkan

Sampai saat ini, belum ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa pemerintahan Trump benar-benar berkonsultasi dengan chatbot AI dalam menentukan kebijakan perdagangan global. Namun, kemungkinan bahwa data pelatihan yang digunakan oleh chatbot AI sejalan dengan pendekatan pemerintah AS tetap terbuka.

Kontroversi ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan kebijakan, terutama yang memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Selain itu, kasus ini juga memunculkan pertanyaan etis mengenai penggunaan AI dalam pengambilan keputusan publik dan potensi bias yang mungkin terkandung dalam algoritma tersebut.

Ironi Kebijakan: Menargetkan Pulau Tak Berpenghuni

Kebijakan tarif impor baru ini juga menuai kritik karena dinilai tidak masuk akal dan bahkan ironis. Salah satu contohnya adalah pengenaan tarif impor sebesar 10% terhadap Pulau Heard dan Kepulauan McDonald, sebuah wilayah eksternal Australia yang hanya dihuni oleh penguin. Hal ini semakin memperkuat kesan bahwa kebijakan tersebut kurang dipikirkan secara matang dan didasarkan pada logika yang meragukan.

Daftar Poin Penting:

  • Kebijakan tarif impor baru AS menuai kontroversi.
  • Diduga ChatGPT digunakan untuk menentukan tarif.
  • Rumus perhitungan tarif yang janggal.
  • Gedung Putih membantah, namun rumus mirip.
  • Chatbot AI memberikan jawaban serupa.
  • Peringatan dari AI tentang kompleksitas perdagangan.
  • Misteri keterlibatan AI belum terpecahkan.
  • Kebijakan menargetkan pulau tak berpenghuni.