Kebijakan Non-Tarif AS: Lebih Dulu Menghambat Perdagangan Global Sebelum Isu Tarif Mencuat

Amerika Serikat dan Dominasi Kebijakan Non-Tarif dalam Perdagangan Internasional

Diskusi mendalam yang digelar oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkap fakta menarik mengenai kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS). Sebelum isu tarif timbal balik mencuat dan menjadi perhatian global, AS ternyata telah lama menerapkan kebijakan non-tariff measures (NTM) yang dinilai lebih menyulitkan negara-negara lain yang ingin melakukan ekspor ke Negeri Paman Sam.

Peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menjelaskan bahwa AS merupakan salah satu negara yang paling aktif menggunakan NTM. Indikator utama dari NTM ini adalah Technical Barriers to Trade (TBT) atau hambatan teknis perdagangan, dan Sanitary and Phytosanitary (SPS) measures atau tindakan sanitasi dan fitosanitasi. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2025, AS telah memberlakukan total 149 TBT dan SPS, yang secara signifikan mempengaruhi akses produk impor ke pasar mereka.

Rincian Hambatan Non-Tarif yang Diterapkan AS

Lalu apa saja contoh konkret dari hambatan non-tarif ini? Heri menjelaskan bahwa AS menerapkan aturan ketat terkait label produk impor. Label harus menggunakan bahasa lokal, mudah dipahami oleh konsumen AS, dan produk tidak boleh berasal dari bahan baku yang merusak lingkungan atau berbahaya. Aturan-aturan ini, meskipun tampak sepele, dapat menjadi penghalang besar bagi eksportir dari negara lain.

Ironisnya, Indonesia justru relatif sedikit menerapkan TBT dan SPS dibandingkan AS. Data tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia hanya menerapkan 32 TBT dan SPS terhadap produk impor, sementara AS menerapkan 495 TBT dan SPS. Perbedaan yang sangat mencolok ini mengindikasikan bahwa AS sebenarnya lebih aktif dalam menseleksi dan mempersulit produk-produk yang ingin masuk ke pasar mereka melalui mekanisme non-tarif.

Implikasi Tarif Timbal Balik dan Strategi Diplomasi

Di sisi lain, tarif yang dikenakan Indonesia terhadap barang impor dari AS tergolong tidak terlalu tinggi, dengan rata-rata sekitar 8,56 persen. Namun, Indonesia justru dikenai tarif timbal balik impor oleh AS sebesar 32 persen. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai motif AS, yang diduga ingin menarik perhatian dunia untuk membuka perundingan dengan mereka.

Menanggapi hal ini, Heri menyarankan pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah diplomasi daripada melakukan retaliasi atau pembalasan. Diplomasi yang cerdas dan terukur dinilai lebih efektif dalam menyelesaikan masalah perdagangan yang kompleks ini.

Latar Belakang Pengenaan Tarif Timbal Balik AS terhadap Indonesia

Pengumuman tarif timbal balik oleh Presiden AS sebelumnya telah mencakup lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia. Pemerintah AS memberikan penjelasan bahwa Indonesia dikenai tarif 32 persen karena menerapkan tarif yang lebih tinggi (30 persen) dibandingkan AS (2,5 persen) untuk produk etanol. Selain itu, hambatan non-tarif dan perizinan impor yang kompleks di Indonesia juga menjadi alasan pengenaan tarif timbal balik tersebut.

Kesimpulan: Keseimbangan dalam Kebijakan Perdagangan

Kondisi ini menyoroti pentingnya keseimbangan dalam kebijakan perdagangan. Negara-negara perlu berhati-hati dalam menerapkan kebijakan tarif maupun non-tarif agar tidak merugikan mitra dagang dan menghambat pertumbuhan ekonomi global. Diplomasi dan negosiasi yang konstruktif menjadi kunci untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang saling menguntungkan.

  • Kebijakan Non-Tarif (NTM): Merupakan hambatan perdagangan yang tidak berbentuk tarif, seperti peraturan teknis, sanitasi, dan persyaratan label.
  • Technical Barriers to Trade (TBT): Hambatan teknis dalam perdagangan yang berkaitan dengan standar produk, pengujian, dan sertifikasi.
  • Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures: Tindakan sanitasi dan fitosanitasi untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan dari risiko yang terkait dengan impor.