Serial 'Adolescence' Ungkap Dampak Negatif Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Remaja
Serial 'Adolescence': Refleksi Realitas Remaja dan Jeratan Media Sosial
Serial terbaru Netflix, "Adolescence," yang disutradarai oleh Jack Thorne dan co-created oleh Stephen Graham, telah memicu diskusi hangat di kalangan penikmat film. Bukan hanya karena teknik one-take yang digunakan dalam seluruh episodenya, tetapi juga karena tema yang diangkat sangat relevan dengan kehidupan remaja di era digital ini. Serial ini mengisahkan Jamie Miller, seorang remaja 13 tahun yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap teman sekelasnya, dan bagaimana media sosial serta internet memengaruhi identitas dan perilakunya.
Dunia Maya yang Menyesatkan
"Adolescence" dengan berani menggambarkan bagaimana Jamie terjerumus ke dalam gagasan-gagasan toxic yang ia temukan di dunia maya. Ide-ide yang awalnya tampak sebagai jawaban atas kegelisahan dan kerendahan diri khas remaja, justru menjerumuskannya ke dalam isolasi emosional dan kebutuhan validasi yang tak berujung. Serial ini menyoroti bagaimana algoritma media sosial bekerja untuk membuat pengguna tetap terlibat, sehingga jumlah like, views, dan komentar menjadi tolok ukur harga diri.
Dr. Kamna Chibber, Kepala Kesehatan Mental dari Fortis Healthcare, menjelaskan bahwa media sosial menumbuhkan budaya kepuasan instan. Remaja sering kali menyamakan harga diri mereka dengan bagaimana orang lain memandang mereka secara online, yang dapat menyebabkan kecemasan, keraguan diri, dan bahkan depresi. Validasi eksternal ini bisa menjadi candu, di mana setiap like, share, komentar, atau views memicu pelepasan dopamin yang mendorong keinginan untuk mendapatkan kesenangan instan secara berkelanjutan. Sebaliknya, kurangnya validasi dapat menyebabkan penarikan diri secara emosional atau bahkan perilaku agresif.
Komunikasi dan Penghargaan Diri: Kunci Melindungi Remaja
Serial "Adolescence" juga menyoroti kebingungan orang tua dalam menghadapi dunia digital yang kompleks. Bagaimana mereka harus bersikap saat anak mereka terlarut dalam dunia maya, di mana batas antara pengawasan dan privasi sangat tipis? Swati Copra, seorang ibu dari anak berusia 9 tahun, menekankan pentingnya menanamkan penghargaan diri pada anak sejak dini. Ia selalu bertanya kepada anaknya, "Kamu bangga, enggak dengan dirimu sendiri?" setelah ia mencapai sesuatu. Ia ingin anaknya menghargai dirinya sendiri dan merasa bangga dari dalam dirinya, sebelum mencari validasi dari orang lain.
Selain itu, Swati juga mengedepankan komunikasi terbuka dengan anaknya, bahkan untuk topik-topik yang dianggap tabu. Ia percaya bahwa dengan memberikan penjelasan yang sederhana dan jujur, anak akan terhindar dari mencari jawaban di tempat lain, termasuk dunia maya, yang justru bisa lebih berbahaya. Hal ini juga diamini oleh Dr. Chibber, yang mengatakan bahwa ketika orang tua tidak menjelaskan suatu hal, anak akan semakin penasaran dan terdorong untuk mencari jawaban di tempat lain.
Evolusi Perundungan di Era Digital
Serial "Adolescence" juga mengungkap fenomena perundungan online yang semakin kompleks. Emoji dan slang yang sebelumnya tampak tidak berbahaya, kini dapat digunakan sebagai simbol perundungan atau penyebaran gagasan-gagasan toxic. Tanushree Bhargava, seorang psikolog klinis, menjelaskan bahwa perundungan di dunia maya sering kali tidak memiliki empati. Satu komentar negatif saja dapat terasa sangat berat bagi seorang remaja dan menyebabkan tekanan emosional yang parah jika tidak ada intervensi.
Contoh Kasus Perundungan di Era Digital:
- Penggunaan emoji pil merah (red pill) sebagai simbol kesepakatan gagasan misoginis.
- Penggunaan slang atau akronim seperti "incel" (Involuntary Celibates) untuk merendahkan dan menyalahkan orang lain.
Regulasi Media Sosial untuk Anak di Indonesia
Pemerintah Indonesia juga memberikan perhatian serius terhadap akses media sosial oleh anak. Presiden Prabowo Subianto telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Perlindungan Anak, yang dikenal sebagai PP Tuntas. PP ini bertujuan untuk memberikan kepastian agar anak terhindar dari bahaya mengakses media sosial.
Poin-Poin Penting dalam PP Tuntas:
- Pembatasan usia dan pengawasan dalam pembuatan akun digital.
- Sanksi tegas bagi platform yang melanggar ketentuan perlindungan anak.
- Fokus pada perlindungan anak, bukan pembatasan akses secara umum.
Menkomdigi Meutya Hafid menekankan bahwa PP ini bukan untuk memberikan sanksi kepada orang tua atau anak, tetapi kepada platform yang melanggar ketentuan perlindungan anak. Pemerintah akan membuat peraturan tambahan setingkat menteri untuk mengatur mekanisme pembatasan usia dan pengawasan secara lebih terperinci.
Serial "Adolescence" menjadi pengingat yang kuat tentang pentingnya peran orang tua, pendidik, dan masyarakat dalam melindungi remaja dari dampak negatif media sosial. Dengan komunikasi yang terbuka, penanaman penghargaan diri, dan regulasi yang tepat, kita dapat membantu remaja tumbuh menjadi individu yang sehat dan bertanggung jawab di era digital ini.