Revisi UU LLAJ: Aplikator Ojol Desak Payung Hukum yang Komprehensif untuk Mitra dan Tarif

Revisi UU LLAJ: Desakan Aplikator Ojol untuk Payung Hukum yang Komprehensif

Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi V DPR RI dengan tiga perusahaan aplikator ojek online (ojol) – Gojek, Grab, dan Maxim – telah menghasilkan seruan mendesak untuk revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Para aplikator menyoroti kebutuhan akan payung hukum yang lebih kuat dan komprehensif untuk mengatur berbagai aspek industri, mulai dari status hukum mitra pengemudi hingga regulasi tarif yang lebih adil dan seragam.

Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, menekankan pentingnya revisi UU LLAJ. Ia menjelaskan bahwa peraturan di level Peraturan Menteri (Permen) saat ini dinilai tidak cukup kuat untuk mengatasi permasalahan yang kompleks dan berkembang di sektor transportasi online. “Angkutan online membutuhkan pijakan hukum setaraf UU untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul seiring berjalannya waktu,” tegas Lasarus dalam rapat yang berlangsung di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (5/3/2025).

Isu Krusial yang Diangkat Para Aplikator:

1. Status Hukum Mitra Pengemudi: Maxim Indonesia, melalui Head of Legal Dwi Putratama, menyorot ketidakjelasan status hukum mitra pengemudi. Hubungan kemitraan yang saat ini berlaku, berbeda dengan hubungan kerja konvensional, memerlukan penguatan dalam RUU LLAJ. Dwi menjelaskan, meskipun telah ada beberapa regulasi yang menyebut kemitraan, seperti Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 118 Tahun 2018 dan Nomor 12 Tahun 2019, perlu adanya kejelasan hukum yang lebih inklusif untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. “Hubungan kemitraan ini adalah perikatan perdata, berbeda dengan definisi pekerja dalam UU 13/2003,” ujarnya.

2. Penyeragaman Tarif dan Regulasi Roda Empat: Maxim juga mengusulkan penyeragaman tarif angkutan sewa khusus (ASK) roda empat. Ketidakseragaman regulasi tarif antar daerah menimbulkan ketidakpastian bagi mitra pengemudi dan aplikator. Mereka mengusulkan sentralisasi regulasi tarif, termasuk Biaya Operasional Kendaraan (BOK), yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk mencegah disparitas dan praktik penetapan tarif yang tidak rasional.

3. Pengakuan Ojol sebagai Transportasi Penumpang: Presiden Gojek, Catherine Hindra Sutjahyo, mengajukan usulan agar ojek online diakui sebagai moda transportasi penumpang, dengan catatan adanya standarisasi keselamatan yang ketat. Ia mengakui bahwa saat ini belum ada landasan hukum yang mengatur hal tersebut, tetapi melihat realitas di lapangan, ojol telah menjadi bagian integral dari sistem mobilitas masyarakat Indonesia. Gojek juga menekankan pentingnya aturan keselamatan bagi mitra dan penumpang, serta fleksibilitas untuk memaksimalkan peran ojol sebagai layanan first-mile dan last-mile.

4. Kebijakan Komprehensif Berbasis Data: Director Commercial and Business Development Grab Indonesia, Kertapradana, berharap adanya kebijakan yang lebih komprehensif dan berbasis data untuk menghadapi tantangan ekonomi. Grab juga menekankan pentingnya pengakuan model bisnis sharing economy dan kerja sama dengan individu dan UMKM dalam menyediakan layanan transportasi yang terjangkau. Mereka berharap RUU LLAJ dapat mengakomodasi model bisnis ini dan mengakui peran Grab sebagai platform penyedia layanan transportasi.

Kesimpulannya, RDPU ini menandai langkah penting dalam upaya merevisi UU LLAJ agar lebih responsif terhadap perkembangan teknologi dan dinamika industri transportasi online di Indonesia. Para aplikator berharap revisi UU ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan.