Kisah Pilu di Manggarai Timur: Penderitaan ODGJ Dipasung Akibat Terlilit Kemiskinan

Jeritan Ekonomi di Balik Pemasungan Seorang ODGJ di Manggarai Timur

Kisah memilukan datang dari Kampung Keros, Kelurahan Ronggakoe, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. AGS (29), seorang pria dengan gangguan jiwa (ODGJ), harus menjalani hidupnya dalam pasungan di rumah orang tuanya. Ironisnya, pemasungan ini bukan hanya disebabkan oleh kondisi kejiwaannya, tetapi juga oleh himpitan ekonomi yang mendera keluarganya.

AGS, yang telah berjuang melawan gangguan jiwa selama bertahun-tahun, sempat mengalami pemulihan setelah mendapatkan perawatan medis. Namun, harapan keluarga pupus ketika ia merantau ke Kalimantan pada tahun 2023. Di tanah rantau, penyakitnya kambuh, memaksa keluarganya untuk membawanya ke Rumah Sakit Jiwa Banjarmasin. Sayangnya, setelah perawatan singkat selama satu minggu, AGS harus kembali ke kampung halamannya, sementara istrinya, Rosalia Elmentina Ria, terpaksa tetap bekerja di Kalimantan demi menafkahi keluarga.

"Beberapa tahun sebelum dipasung, AGS telah mendapatkan perawatan medis yang membuatnya pulih dari sakit jiwa. Namun, saat merantau ke Kalimantan pada tahun 2023, ia mengalami kekambuhan," ungkap Dionisius Uno, ayah AGS, dengan nada sedih.

Anak-anak Terlantar, Keluarga Berjuang

Di tengah kesulitan ekonomi, AGS dan Rosalia memiliki dua anak balita yang kini diasuh oleh kakek nenek dari pihak istri di Kampung Ngembu, Desa Kota Komba, Kecamatan Kota Komba. Desa terpencil ini menjadi tempat perlindungan bagi kedua anak tersebut, Mutia (4 tahun) dan Alifa (2,5 tahun), sementara orang tua mereka berjuang mencari nafkah.

Kondisi AGS yang agresif menjadi alasan utama pemasungannya. Keluarga harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli obat dari apotek di Kota Ruteng, dengan total pengeluaran mencapai Rp 700 ribu, termasuk biaya transportasi. Bagi keluarga petani dengan penghasilan tidak tetap, jumlah ini sangat memberatkan.

Petrus Pongi, ayah Rosalia, mengungkapkan keprihatinannya terhadap cucu-cucunya. "Anak kami merantau ke Kalimantan pada tahun 2023 ketika anak pertama mereka berusia dua tahun dan adiknya 10 bulan. Kini, Mutia sudah berusia empat tahun, sedangkan Alifa berusia 2,5 tahun," ujarnya.

Uluran Tangan dan Harapan

Kisah pilu AGS dan keluarganya telah menarik perhatian berbagai pihak. Relawan dari Komunitas Solidaritas Kemanusiaan Manggarai Timur dan Seksi Caritas Paroki Waerana telah mengunjungi kedua balita tersebut untuk memberikan dukungan dan bantuan. Oby Nija dari Seksi Caritas berharap agar AGS segera pulih dan dapat kembali mengurus anak-anaknya.

"Saya ingat kedua anak itu," ucap AGS ketika ditanya tentang anak-anaknya, meskipun dalam kondisi terpasung. Ungkapan ini menunjukkan kerinduan seorang ayah yang terpisah dari keluarganya.

Hendrikus Gabu, anggota relawan, juga menyampaikan harapan yang sama agar AGS segera pulih dan dapat kembali menjalankan perannya sebagai seorang ayah. Kisah AGS adalah cerminan dari realitas pahit yang dihadapi oleh banyak keluarga di daerah terpencil, di mana kemiskinan dan masalah kesehatan mental saling terkait, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan. Uluran tangan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk membantu keluarga AGS keluar dari kesulitan ini dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi kedua anaknya.