Revisi UU LLAJ: Gojek, Grab, dan Maxim Ajukan Rekomendasi Regulasi Transportasi Digital
Revisi UU LLAJ: Gojek, Grab, dan Maxim Ajukan Rekomendasi Regulasi Transportasi Digital
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi V DPR RI pada Rabu, 5 Maret 2025, perwakilan dari Gojek, Grab, dan Maxim menyampaikan sejumlah usulan terkait revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Usulan-usulan ini bertujuan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dan model bisnis ekonomi berbagi (sharing economy) dalam industri transportasi digital di Indonesia. Para pelaku usaha ini menekankan perlunya payung hukum yang jelas dan komprehensif untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan sektor ini.
Salah satu poin penting yang diusulkan adalah pengakuan legalitas ojek online (ojol) sebagai angkutan umum. Catherine Hendra Sutjahyo, Presiden unit bisnis on-demand service GoTo, mengajukan agar revisi UU LLAJ secara eksplisit memasukkan kendaraan roda dua sebagai moda transportasi penumpang publik. Lebih lanjut, Gojek juga menyoroti pentingnya peran ojol sebagai layanan first-mile dan last-mile yang terintegrasi dengan transportasi publik, membentuk ekosistem transportasi yang saling melengkapi dan efisien.
Grab Indonesia, melalui Direktur Kemitraan dan Pengembangan Bisnisnya, Kertapradana, menekankan perlunya pengakuan terhadap perusahaan aplikasi sebagai penyedia layanan transportasi berbasis teknologi dalam RUU LLAJ. Kertapradana juga meminta agar regulasi baru tersebut mengakomodasi model bisnis sharing economy, di mana kendaraan yang digunakan merupakan aset pribadi pengemudi. Hal ini dianggap penting untuk menjaga keberlanjutan model bisnis yang telah terbukti efektif. Lebih jauh, Grab menyoroti pentingnya fleksibilitas kerja sama antar operator transportasi daring dengan berbagai pihak, termasuk individu dan UMKM, guna menyediakan layanan transportasi yang terjangkau dan inklusif. Regulasi yang fleksibel diyakini akan mendorong inovasi dan aksesibilitas yang lebih luas.
Sementara itu, Maxim Indonesia, melalui Head of Legal Department-nya, Dwi Putra Tama, mengusulkan agar revisi UU LLAJ mengatur status hukum pengemudi transportasi online secara jelas. Dwi menjelaskan bahwa saat ini, hubungan kemitraan antara pengemudi dan aplikator belum sepenuhnya terdefinisi secara hukum, membutuhkan payung hukum yang memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Ia menjelaskan bahwa hubungan kemitraan ini berbeda dengan definisi pekerja dalam UU Ketenagakerjaan dan perlu dibedakan secara tegas dalam RUU LLAJ. Selain itu, Maxim juga menyoroti pentingnya penerapan regulasi tarif layanan transportasi online yang seragam di seluruh Indonesia, mengingat ketidakseragaman regulasi tarif di berbagai daerah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi mitra pengemudi dan aplikator. Maxim mengusulkan agar regulasi tarif disentralisasi dan ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Usulan-usulan dari ketiga perusahaan aplikasi ini menunjukkan perlunya revisi UU LLAJ yang komprehensif dan responsif terhadap perkembangan teknologi serta model bisnis di era digital. Peraturan yang jelas dan terukur diharapkan dapat menciptakan ekosistem transportasi yang adil, efisien, dan berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas.